Senin, 22 Juni 2009

Jembatan Menuju Allah

"Segala puji bagi Allah Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" Salawat beriring salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw, kepada seluruh Sahabat, keluarga dan umat Beliau sampai akhir zaman.


Ada firman Allah yang lain yang berbunyi : "Wamal khayatudunnya illa mataa ul ghuruur yauma la yan fa'u malun wala banun illa man ataallaha biqolbin saliim"


sesungguhnya hidup di dunia itu hanya kesenangan yang semu, akan datang suatu hari nanti dimana pada saat itu tidak ada manfaat dari hartamu, dan juga anak2mu, kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang Salim (Selamat)

pengertian hati yang salim (selamat) sangat luuuaaas sekali niscaya jika lautan di jadikan tintanyapun yakin tidak akan cukup, tapi bisa disimpulkan bahwa hati yang selamat itu, adalah hati yang telah tertanam syahadat (tauhid dan rosul) dimana dihati tersebut tidak ada lagi penyakit2 hati seperti : Khasud, Toma, Ujub, Ria, Takabur, Iri, Dendam, Dengki, dan lain-lainya dari penyakit hati.


Kalau kita simak ayat Allah, Al-Qur’an yang menyatakan : “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur”.(QS.At Takaatsur [102] : 1-2). Maka pada dasarnya setiap manusia bisa saja mengingkari nikmat dan pemberian Allah. Mereka bisa saja mengatakan bahwa harta, ilmu, jabatan, kesehatan, anak dan istri yang mereka miliki adalah karena jerih payah dan usaha mereka untuk mendapatkannya, mereka bisa mengaku ada orang lain atau pihak lain yang membantunya, mempasilitasinya dan memberikan semua itu kepadanya. Sekurang-kurangnya walaupun diluarnya mereka selalu mengucap syukur kepada Allah, namun dihatinya masih merasa bahwa; kalau tidak karena ini dan itu maka ia takkan mendapatkan semua ini. Sehingga mereka lalai dan bermegah-megah dengan dunianya(takaatsur). Akan tetapi ingatlah ! siapapun manusianya, tidak akan pernah mengingkari keberadaan Allah Tuhan mereka, terutama disaat kepapaan, ketidak berdayaan. Disaat yang diinginkan tidak tercapai, yang diharapkan tidak didapatkan. Atau disaat mereka ditimpa musibah dan tidak ada seorangpun bisa membantunya dan terakhir setidak-tidaknya disaat ajal menjelang, disaat sampai dipintu kubur. Disana mereka baru menyadari, merasakan dan mengakui akan keberadaan Allah Tuhan mereka, namun sudah terlambat. Merasakan keberadaan Allah yang sangat dekat dengan diri kita inilah yang harusnya kita jangkau dan kita bina mulai dari sekarang. Sehingga dengan merasa dekat, akan terasalah pemberiaan-Nya, pertolongan-Nya, kasih sayang-Nya dan Kekuasaan-Nya. Allah menyatakan dalam Al Qur’an: Katakanlah “Wahai Allah Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS.Al Imran [3]:26).

Jalan Atau Jembatan Menuju Kepada Allah

Dalam suatu kajiannya Syekh Muhammad Ali Hanafiah mengungkapkan : Wahai hamba-hamba Allah : Jembatan menuju dunia adalah egomu, jembatan menuju akhirat adalah amalmu dan jembatan menuju kepada Allah adalah Allah. Dari kajian ini dapat dipahami bahwa dihadapan kita ada tiga pilihan, sementara itu terdapat pula tiga jalan atau jembatan yang masing-masing akan mengantarkan kita kepada tujuannya. Pilihan pertama adalah dunia, dimana orang-orang yang menujunya, berkhitmad, terlena dan tergila-gila kepadanya disebut hamba dunia. Sedangkan jembatan menuju kepadanya adalah ego kita. Apapun sebenarnya kegiatan kita didunia ini walaupun dibungkus dengan label keagamaan, ibadah, sosial dan kemasyarakatan, namun apabila ego kita menonjol, keakuan kita yang mewarnainya, maka semua itu hanya akan mengantarkan kita kepada dunia dan segala isinya. Kemewahan, nama baik, kepopuleran dan sanjungan akan menjadi tujuan akhir dan segala-galanya. Kalau kita mau jujur serta belajar dari pengalaman dan sejarah, apalagi kalau kita perhatikan dan kita hayati ayat-ayat Allah dan hadist-hadist Rasulullah Muhammad Saw. Maka sebenarya kita bisa mengerti dan paham bahwa jauh sebelum ruh ditiupkan oleh Allah, ketika kita masih dalam kandungan ibu kita, sudah ditetapkan oleh Allah terutama tentang dunia kita ini. Betapa banyak kita lihat didepan mata kita orang-orang yang bersusah payah dalam mengejar dunia, namun tidak mendapat apa-apa dari dunia itu, mereka akhirnya menghibur diri dan tenggelam dalam angan-angannya. Sementara itu betapa banyak pula orang-orang yang justru untuk mendapatkan dunia dan segala isinya ini tidak perlu menghadapi kesukaran dan halangan yang berarti, namun setelah mereka mendapatkan dunia dan segala isinya mereka justru disusahkan dan direpotkan olehnya. Mereka tidak mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan. Kesimpulannya adalah, mengejar dunia ini adalah mengejar yang sesuatu yang belum pasti kita dapatkan dan kalaupun kita dapatkan, maka ia belum tentu memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada kita. Allah ingatkan dalam Al Qur’an bahwa: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.(QS.Al Hadiid [57]: 20)

Pilihan kedua adalah akhirat, dimana orang-orang yang yakin akan adanya hari akhirat, adanya tempat kembali dan tempat pembalasan, adanya sorga dan neraka, itulah ahli-ahli akhirat. Sedangkan jembatan untuk menuju kepadanya adalah amal kita. Bukankah Allah sendiri sudah mengingatkan dengan firman-Nya : “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”(QS.Az Zalzalah [99]:7-8). Namun secara jujur kita akui, semua itu mungkin terlalu berat bagi kita dan juga sesuatu yang belum pasti kita dapatkan walaupun kita sudah bersusah payah untuk meraihnya. Amal ibadah yang begitu banyak dan susah payah kita lakukan bisa hancur habis dan tidak ada artinya hanya karena dalam hati kita ada sedikit ria, sum’ah dan ujub. Maka betapa banyak juga kita lihat dan kita dengar tentang kisah orang-orang yang selalu beribadah dan beramal shaleh, namun diakhir hayatnya justru tidak baik dan terjauh dari jalan Allah. Kesimpulannyapun adalah, akhirat dan segala kesenangannya adalah sesuatu yang belum pasti juga kita dapatkan, karena terlalu sulit jalan dan begitu banyaknya cobaan serta godaan yang harus kita hadapi. Kemudian ditambah lagi dengan begitu mudah hancur dan tidak berartinya segala persiapan dan amal yang kita lakukan.

Pilihan ketiga adalah Allah, inilah pilihan yang mudah dan pasti bisa didapatkan oleh semua orang. Pilihan ini juga sangat menentukan kehidupan kita didunia ini dan masa depan kita nanti diakhirat. Sedangkan jembatan menuju kepada Allah adalah Allah yaitu dengan rasa iman (rasa ber-Tuhan/rasa nurani) kita mendekat menuju kepada Allah. Allah telah menyatakan bahwa kita dapat bertemu (liqâ’) dengan-Nya, seperti firman Allah dalam Al Quran: “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mengetahui”. (QS. Al-Ankabut, 29:5). Sebaliknya orang yang tidak dapat bertemu dengan Allah di dunia ini, di akhirat juga tidak dapat menemui-Nya. Hal ini dapat di lihat dalam Al Quran: “Dan barang siapa yang buta (hatinya, tidak dapat bertemu Allah) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan akan tersesat jauh dari jalan (yang benar)”. (QS Al Isra, 17:72). Untuk bertemu dengan Allah, harus didahului dengan harapan (rajâ), keinginan, kehendak, atau tekad. Bertemu Allah, tidak cukup hanya keinginan atau niat, tetapi harus disertai dengan usaha. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh (niat dan usaha) menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. Al Insyiqâq, 84:6). Hubungannya dengan bertemu Allah (liqâ Allah) dapat dikemukakan Hadits Jibril tentang ihsân, yaitu menyembah Allah seakan akan melihat-Nya (ka an naka tarahu) , kalau tidak dapat melihat-Nya, maka sekurang-kurangnya engkau merasa dilihat-Nya (fa innahû yarâka). Orang-orang yang terpaut hatinya, ada rasa iman/rasa ber-Tuhannya kemudian berusaha/belajar mendekat dan mencintai Allah adalah ahli-ahli-Nya. Merekalah yang mendapatkan semuanya. Didunia mereka mendapatkan semua kebutuhannya, karena dunia memang diciptakan dan mengabdi kepada mereka, dunia adalah sandaran rindunya kepada Allah yang tersa sangat dekat dan dicintainya. Dan dikhirat mereka mendapatksan ampunan, kesenangan dan keredhaan Allah, karena tidak mungkin seorang kekasih akan menyiksa kekasihnya. Setelah kita menentukan pilihan tujuan kita dan jalan atau jembatan yang menuju kearahnya, tanpa kita sadari kadang-kadang ditengah jalan justru kita malah menempuh jalan atau jembatan yang salah, yang tentu saja akan mengarahkan kita kepada tujuan sebenarnya tidak kita inginkan. Karena kuatnya keinginan hawa nafsu, keterbatasan akal dan pikiran, serta godaan setan dan dunia yang indah. Untuk itu Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an dengan sumpah-Nya : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.(QS.Al ‘Ashr [103]:1-3). Dapat kita pahami bahwa, orang-orang yang beruntung didunia dan di akhirat adalah setelah beriman (punya rasa iman/rasa bertuhan) dan beramal saleh (berjuang dan berkorban), mereka berjamaah/bermajlis, mempunyai pembimbing/guru atau sahabat yang menemaninya dan menuntunnya menempuh jalan Allah. Mereka nasehat menasehati dalam kebenaran dan nasehat menasehati dalam kesabaran.

Modal dan Cara Menempuh Jalan Atau Jembatan Menuju Kepada Allah

Modal awal untuk menuju kepada Allah itu adalah tersimpul dalam suatu Pertanyaan: “Semenjak kita terlahir dari kandungan ibu kita, dari kita merangkak sampai dua kaki kita berjalan, apa yang kita rasakan sekarang? Apakah kita sadar dengan dosa-dosa yang kita perbuat kepada Allah? Atau kita merasa tidak memiliki dosa sedikitpun kepada-Nya, seakakan-akan kita yang punya alam ini”. Apa yang kita rasakan sekarang, rasa bersalah dan berdosa, karena memang tidak ada kita yang terlepas dari salah dan dosa. Rasa butuh dan harap terhadap Allah, karena memang Dia-lah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Menolong, Melindungi kita dan kepada-Nya lah tempat kita kembali. Semua yang kita rasakan itu adalah modal untuk menjangkau keberadaan-Nya yang sangat dekat dengan diri kita. Allah ingatkan dalah Al-Qur’an : “dan didalam dirimu sendiri. Apakah tidak kamu perhatikan?” (QS.Adz Dzaariyaat [51]: 21). Seorang Sufi pencinta Allah mengungkapkan ; “Langit nan tinggi dapat kita jangkau, isi perut bumi dapat kita gali. Tapi apakah pernah kita gali dan kita jngkau diri kita sendiri? Sesungguhnya orang-orang yang dapat menggali dirinya maka ia akan temukan intan permata yang tak ternilai harganya”. Intan permata itu adalah pengetahuan diri dan ‘sedikit’ pengetahuan tentang Allah. Intan permata itu juga adalah potensi untuk melihat atau memandang Tuhan (merasakan) yang sangat dekat. Intan permata itu adalah rasa nurani (rasa ber-Tuhan). Kepada makluk yang melata dimuka bumi ini Allah hanya berikan rasa jasmani dan rasa rohani. Sehingga mereka seperti kita juga bisa merasakan pahit, manis, asam, asin dan pedas(rasa jasmani). Mereka juga mempunyai rasa senang dan sakit, rasa suka dan marah(rasa rohani). Akan tetapi mereka tidak memili rasa nurani, sehingga bagi mereka tidak berlaku hukum-hukum(agama) Allah. Rasa nurani ini yang berfungsi sebagai satelit yang menangkap sinyal-sinyal keberadaan Tuhan dalam diri manusia. Rasa nurani sangat penting karena ia dapat mencari rasa kedekatan dengan Allah. Dengan rasa ini, manusia dapat melihat (merasakan) keberadaan Tuhan dalam dirinya, sebagaimana ia melihat(merasakan keberadaan Allah pada alam semesta, semakin dalam rasa nurani seseorang, semakin tinggi kualitas rasa kedekatannya kepada Allah swt. Rasa dekat dengan Tuhan adalah jembatan kita untuk menuju dan memandang-Nya (mengenalnya dengan rasa). Kenapa dikatakan rasa dekat adalah jembatan untuk menuju dan memandang (menegenal) Allah? Karena diyakini bahwa rasa dekat dengan Allah mustahil lahir dari akal, sebab akal hanya membuahkan pemikiran, demikian nafsu yang cenderung ke hal-hal yang jahat (ammârah bi as-su’), juga keinginan, tidak dapat menerbitkan rasa dekat dengan-Nya, melainkan hanya keinginan untuk dekat dengan-Nya. Rasa dekat dengan-Nya adalah pemberian Tuhan(Allah), oleh karena itu, jadikanlah rasa dekat dengan-Nya sarana dan jembatan jiwa untuk menuju kepada-Nya, di balik rasa dekat tersebut. Hanya Allah yang dapat menerbitkan rasa dekat dengan-Nya. Rasa berfungsi untuk mendekati-Nya, sedangkan hati yang meyakini-Nya. Ketika kita rasakan manis atau pedas, maka kita yakin itu adalah gula atau cabe, sekali pun mata kita ditutup. Kita yakin bahwa di balik rasa manis itu adalah gula, dan dibalik rasa pedas itu adalah cabe. Demikian pula rasa dekat dengan Allah (rasa Bertuhan), apakah dalam keadaan salat, zikir atau di mana dan kapan pun, maka kita yakin bahwa sumber kedekatan rasa pada diri kita tersebut adalah Allah. Itulah modal dan cara kita menempuh jembatan menuju kepada Allah yaitu Allah jua (rasa nurani /rasa ber-Tuhan). Ketika sedang memusatkan rasa, dan jauh di kedalaman sirrnya yang paling dalam, seorang Ulama Sufi Syekh Muhammad Ali Hanafiah bertanya : “Ya Tuhanku, “Dengan apa kami mengenalmu, berdekatan, dan menyembah-Mu? Wahai kekasihKu: “Jika engkau ingin mengenal-Ku, maka dengan kalimat-kalimat-Ku. Jika engkau ingin berdekatan dengan-Ku, maka dengan rasamu. Dan jika engkau ingin menyembah-Ku, maka dengan kalimat dan rasa. Maka dengan kalimat dan rasa itulah jalan yang Kuberikan kepada nabi-nabi-Ku. Ikutilah jalan itu. Itulah cahaya di atas cahaya. Maha Benar Aku dari Segala Kata-kata-Ku.”

Shalat yang Khusyuk

Dalam shalat akal dipakai untuk mengetahui dan memahami bacaan-bacaan maupun gerakan-gerakan shalat yang pada intinya adalah menyebut Nama Allah, membaca ayat-Nya, dan menghadap kepada-Nya. Sedang hati berfungsi menerima makna-makna bacaan dan gerakan tersebut untuk kemudian menjadikannya sebagai alat untuk memancing rasa dekat dengan Allah SWT. Setelah rasa dekat itu tiba, barulah kita bisa menyaksikan keberadaan Allah di balik rasa dekat itu. Itulah Shalat yang sebenarnya, bersyari’at dan berhakikat, dengan kalimat(perbuatan) dan rasa iman (rasa ber-Tuhan/rasa nurani). Nabi Muhammad Saw mengungkapkan : “ Shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat”.(Al hadist). Dengan demikian khuyuk dalam shalat akan bisa kita dapatkan, kita rasakan dan kita nikmati. Walaupun demikian, tetap dibutuhkan kesungguhan kita melatih diri serta menjalankannya. Karena jujur kita akui telah banyak manusia yang menyerah dan kalah sebelum memperolehnya, sehingga menganggap bahwa khusuk itu adalah suatu angan-angan dan impian saja. Ada hal yang menggembirakan kita lewat ilham sirr (buku Sastra Ilahi) adalah ilham berikut: "Wahai Hamba-Ku: Kekhusukkan dirimu pada-Ku bukanlah ternilai daripada khusuk itu sendiri akan tetapi ia Kulihat dan Kunilai terhadap usahamu di dalam memeliharanya Dan bahwasanya Akulah Yang sanggup mengkhusukkanmu kepada-Ku Maka dengannya tiada Kuletakkan penilaian padamu melainkan hanya melalui niat dan usahamu untuk-Ku Dan nyatakan “Cukuplah Allah Tuhanku Yang berkehendak atasku hingga tiada yang lebih baik selain aku berada dalam kedudukan berniat dan berusaha di hadapan-Nya”. Yang bisa dipahami dari sirr di atas adalah bahwa khusuk itu bukanlah sesuatu yang bisa kita peroleh lewat usaha kita, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT. Yang justru dilihat dan dinilai adalah niat dan usaha kita untuk memelihara khusuk tersebut. Jadi meskipun kita mungkin berkali-kali jatuh (perhatian kita teralih) dalam shalat kita, tetapi kita tetap berusaha kembali bangkit mengembalikan perhatian dan rasa kita kepada Allah, maka hal itu sudah dinilai khusuk dalam pandangan Allah. Allah tidak pernah menjatuhkan penilaian kepada hasil, karena hasil itu sendiri adalah anugerah-Nya. Yang justru dinilai adalah proses untuk mencapai hasil itu. Dengan demikian, sesungguhnya harta yang paling berharga dalam hidup dan kehidupan ini yang padanya Allah SWT. menujukan penilaian adalah pada niat dan usaha kita. Di luar niat dan usaha, hanya Allah yang mengetahui dan menentukannya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw., “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupamu dan hartamu, tetapi Allah melihat hatimu dan amalmu”(Al Hadist) Dari ilham sirr di atas dapat dipahami bahwa ketika sesesorang mendirikan shalat dan berusaha khusuk (menjadikan hatinya sebagai 'tempat' bagi Allah) dalam shalatnya, maka Allah akan membungkusnya dengan Nur cahaya-Nya. Dengan Nur tersebut, dia akan bisa memahami atau membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Selanjutnya Allah akan memberikan perasaan cinta atau mahabbah. Cinta itu akan menjadi modal baginya untuk menebarkan kasih sayang di muka bumi ini dan menjadikan semua amal dan perbuatannya sebagai bukti kecintaannya kepada Allah. Allah juga akan memberikan maghfirah atau ampunan dari segala dosa dan kesalahannya, karena harus diakui secara jujur bahwa kita tidak akan pernah lepas dari dosa dan kesalahan. Kita hanya berusaha bertobat dan meminta ampun dan Allah-lah yang akan memberikan maghfirah-Nya. Allah juga akan memberikan hidayah (petunjuk)-Nya. Dengan petunjuk tersebut, kita bisa menentukan sikap dan menempatkan diri serta berbuat dalam hidup dan kehidupan dunia yang penuh dengan fitnah serta segala macam hal-hal yang menipu ini, sesuai dengan yang dikehendaki-Nya (al-Qur’an dan Hadis). Terakhir, dan yang tidak kalah pentingnya adalah, Allah akan menjadikan dirinya sebagai bayangan kemuliaan dari-Nya. Hamba tersebut akan menyandang sifat-sifat-Nya (berakhlak dengan akhlak Allah), seperti yang telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad saw.

Penutup

Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa jembatan menuju kepada Allah itu adalah dengan menempatkan Allah dihati kita, menjangkau keberadaan-Nya yang sangat dekat dengan rasa nurani kita, kemudian memandang (meyakini) bahwa Allah-lah dibalik apa yang kita rasakan, sehingga terasa kenikmatan menyembah kepada-Nya dan tumbuh kecintaan kepada-Nya. Contoh tauladan kita adalah Nabi Muhammad Saw, sebagai manusia yang paling dekat dan paling cinta kepada Allah SWT. Ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an : Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.Al-Imran:31) Wallahu a'lam bi al-shawab

Kalam Ilham Sirr dapat dibaca dalam: 1. Muhammad Ali Hanafiah, Tarekat Qadiriyah Abrariyah, Padang, t.p. 1997. 2. Ahmad Rahman "Majelis Zikir Indonesia di Padang" dalam Afif, HM. Dan Muh. Adlin Sila (ed.), Fenomena Kehidupan Keberagamaan Kelas Menengah Perkotaan (Studi Tasawuf di Kota-kota Besar Indonesia), Jakarta, Litbang Departemen Agama dan Diklat Keagamaan, Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan, 2002. 3. Ahmad Rahman, Sastra Ilahi: Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah (Pencerahan Bagi Hamba Pencari Tuhan), Jakarta: Hikmah, 2004.


tulisan ini telah di edit dari sumber aslinya: Oleh: Hendra Saputra al-Hanafi

Tidak ada komentar: