Senin, 22 Juni 2009

Hikayat Sang Pena


Hikayat Sang Pena



Seorang fakir yang sedang dalam perjalanan mencari penerangan melihat secarik kertas dengan coretan-coretan di atasnya.

"Mengapa," tanya sang fakir, "kau menghitami wajahmu yang putih-bersih?"

"Tidak adil kau menuduhku melakukannya," jawab sang kertas. "Bukan aku yang melakukannya." "Tanyakanlah kepada sang tinta mengapa dia keluar dari wadahnya, padahal dia cukup tenang berada di dalamnya, dan mengapa dia menghitami wajahku."

"Kau benar," kata sang fakir. Lalu dia berpaling kepada sang tinta dan bertanya kepadanya.

"Mengapa kau bertanya kepadaku?" jawabnya, "Aku sedang duduk tenang di dalam wadah tinta dan tidak berpikir untuk keluar, tetapi mata pena yang tajam itu menyorengku, lalu mendorongku keluar dan menaburkanku di atas permukaan sang kertas. Di sana kau dapat melihatku terbaring tak berdaya. Pergilah ke sang pena dan tanyakan kepadanya."

Sang fakir berpaling kepada sang pena dan bertanya mengapa dia bersikap sewenang-wenang.

"Mengapa kau menggangguku?" jawab sang pena. "Lihat, siapa aku ini? Tak lebih dari sebatang buluh yang tiada berarti. Aku waktu itu sedang tumbuh di tepian sungai bening keperak-perakan, di tengah-tengah pepohonan hijau nan rindang, ketika, kau tahu, sebuah tangan merentang ke arahku. Sang tangan memegang sebuah pisau. Sang pisau mencabut akar-akarku, menguliti seluruh batang tubuhku, memisah-misahkan seluruh persendianku, menumbangkanku, membelah kepalaku, lalu memenggalnya. Aku segera dikirim ke sang tinta, dan harus mengabdi sebagai pelayan hina-dina. Janganlah kau menambah parah luka-lukaku. Pergilah ke sang tangan dan bertanyalah kepadanya."

Sang fakir memandang sang tangan, lalu bertanya: "Benarkah itu? Apakah kau demikian kejamnya?"

"Jangan marah dulu, Tuan," jawab sang tangan. "Aku hanyalah segumpal daging, tulang, dan darah. Pernahkah Tuan melihat sekerat daging memiliki kekuatan? Dapatkah sebentuk tubuh bergerak dengan sendirinya? Aku hanyalah alat yang digunakan oleh sesuatu yang disebut vitalitas. Dia menunggangiku dan memaksaku berputar-putar. Tuan tahu, orang mati mempunyai tangan tetapi tidak dapat menggunakannya karena vitalitas telah meninggalkannya. Mengapa aku, sebuah alat, mesti dipersalahkan? Pergilah Tuan ke sang vitalitas. Tanyakanlah kepadanya mengapa dia menggunakanku."

"Kau benar," kata sang fakir, kemudian bertanya kepada sang vitalitas.

"Acap kali pengecam sendiri mendapat kecaman, sementara yang dikecam terbukti tak bersalah. Bagaimana kau tahu bahwa aku telah memaksa sang tangan? Aku sudah berada di sana sebelum dia bergerak, dan tidak pernah berpikir untuk menggerakkannya. Aku tidak sadar dan pemirsa pun tidak sadar akan diriku. Tiba-tiba suatu agen datang kepadaku dan menggerakkanku. Aku tak punya cukup kekuatan untuk melanggarnya ataupun kemauan untuk mematuhinya. Mengenai perkara yang membuatmu menegurku, aku melakukannya sesuai dengan keinginannya. Aku tak tahu siapa agen itu. Dia disebut sang kemauan dan aku hanya mengenal namanya. Seandainya hal itu diserahkan kepadaku, kupikir aku tidak akan melakukan apa-apa."

"Baiklah," lanjut sang fakir, "aku akan mengajukan pertanyaan kepada sang kemauan, dan bertanya kepadanya mengapa dia telah mempekerjakan secara paksa sang vitalitas yang menurut keinginannya sendiri tidak akan melakukan sesuatu."

"Jangan dulu terlalu terburu-buru," pekik sang kemauan. "Sedapat mungkin aku akan mengajukan alasan yang cukup memadai. Yang Mulia Pangeran, sang pikiran, mengutus seorang duta besarnya yang bernama pengetahuan, yang menyampaikan pesannya kepadaku melalui nalar, berbunyi: 'Bangkitlah, gerakkanlah vitalitas.' Aku terpaksa melakukannya, karena aku harus patuh kepada sang pengetahuan dan sang nalar, tetapi aku tak tahu apa alasannya. Selama tidak menerima perintah aku bahagia, tetapi begitu ada perintah aku tak berani melanggarnya. Apakah sang raja seorang penguasa yang adil ataukah zalim, aku harus patuh kepadanya. Aku telah bersumpah, selama sang raja ragu-ragu atau masih merenungkan suatu masalah, maka aku hanya diam saja, siap melayani; pegitu perintah sang raja disampaikan kepadaku, maka rasa patuh yang memang sudah menjadi pembawaanku akan segera memaksaku untuk menggerakkan sang vitalitas. Maka janganlah Tuan mengecamku. Sebaiknya pergilah Tuan menghadap sang pengetahuan dan mendapatkan keterangan di sana."

"Anda benar," setuju sang fakir, lalu dia meneruskan perjalanan, menghadap kepada sang pikiran dan para duta besarnya, yaitu pengetahuan dan nalar, untuk meminta penjelasan.

Sang nalar memohon maaf dengan mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebuah lampu, dan dia tidak mengetahui siapa yang menyalakannya. Sang pikiran mengaku tidak bersalah dengan mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebuah tabula rasa. Sedangkan sang pengetahuan bersikeras menyebut dirinya hanyalah sebuah prasasti, yang baru bisa digoreskan setelah lampu sang nalar menyala. Maka dia tidak dapat dianggap sebagai penulis prasasti tersebut, yang kemungkinan merupakan hasil goresan sebuah pena tertentu yang tidak terlihat.

Sang fakir kemudian menjadi bingung, tetapi setelah berhasil menguasai diri lagi, dia berkata kepada sang pengetahuan: "Aku sedang melakukan perjalanan mencari penerangan.

Kepada siapa pun aku menghadap dan menanyakan alasan, aku selalu disuruh menghadap yang lainnya. Meskipun demikian, aku merasa senang dalam pengejaranku ini, karena semuanya memberikan alasan yang masuk akal. Tetapi, Tuan Pengetahuan, maafkanlah aku kalau kukatakan bahwa jawaban Tuan tidak memuaskanku. Tuan mengatakan bahwa Tuan hanyalah sebuah prasasti yang digoreskan oleh sang pena. Aku telah berjumpa dengan sang pena, sang tinta, dan sang kertas. Mereka masing masing terbuat dari buluh, campuran warna hitam, dan kayu serta besi. Dan aku pun telah melihat lampu-lampu yang dinyalakan oleh sang api. Tetapi di sini aku tidak melihat satu pun dari mereka itu, walaupun Tuan berbicara tentang kertas, lampu, pena, dan prasasti. Tentunya Tuan tidak sedang bermain-main denganku, bukan?"

"Tentu, tidak," timpal sang pengetahuan. "Aku berbicara dengan sebenar-benarnya. Tetapi aku dapat memahami kesulitanmu. Bekal yang kau bawa hanya sedikit, kuda yang kau tunggangi sudah letih, dan perjalanan yang kau tempuh cukup jauh dan berbahaya. Hentikanlah perjalananmu ini, karena aku khawatir kau tidak akan dapat berhasil. Tetapi, bagaimanapun, jika kau sudah "siap menanggung risiko, maka dengarkanlah.

Perjalananmu mencakup tiga wilayah. Pertama, alam dunia. Benda-benda di dalamnya adalah pena, tinta, kertas, tangan dan sebagainya, seperti yang telah kau lihat tadi. Yang kedua adalah alam langit, yang akan mulai kau masuki bila kau telah meninggalkanku. Di sana aku akan menjumpai puncak-puncak awan yang padat, sungai-sungai yang luas dan dalam, dan gunung-gunung yang menjulang tinggi tak terdaki, yang aku tak tahu bagaimana kau akan mampu mendakinya. Di antara kedua alam ini terdapat alam ketiga sebagai wilayah perantara, yang disebut alam gejala. Kau telah melampaui tiga lapis di antaranya, yaitu vitalitas, kemauan, dan pengetahuan. Dengan tamsil dapat dikatakan: orang yang sedang berjalan, ia masih berada di alam dunia: jika ia sedang berlayar pada sebuah kapal maka ia mulai memasuki alam gejala: jika ia meninggalkan kapal tersebut lalu berenang dan berjalan di atas air, maka ia telah dianggap berada di alam langit. Jika kau belum tahu bagaimana caranya berenang, maka kembalilah. Sebab daerah perairan dari alam langit itu bermula dari saat kau muiai dapat melihat pena yang menulis pada lembaran hati. Jika kau bukan orang yang diseru: Wahai iman yang kecil, mengapa kau ragu-ragu?1) maka bersiap-siaplah. Sebab dengan iman kau tidak hanya akan berjalan di atas lautan tetapi kau akan terbang di angkasa."

Sang fakir kelana kemudian terdiam sejenak, lalu memandang sang pengetahuan dan mulai berkata: "Aku sedang mengalami kesulitan. Bahaya-bahaya yang menghadang pada jalan yang telah Tuan gambarkan itu membuat hatiku kecut, dan aku tak tahu apakah aku cukup kuat menghadapinya dan berhasil pada akhirnya."

"Ada ujian untuk mengetahui kekuatanmu," kata sang pengetahuan. "Bukalah matamu dan pusatkan pandanganmu padaku. Jika kau dapat melihat pena yang menulis pada sang hati, kukira kau akan mampu melangkah lebih jauh lagi. Sebab orang yang mampu menyeberangi alam gejala, lalu ia mengetuk pintu alam langit, maka ia akan dapat melihat pena yang menulis pada hati."

Sang fakir mengikuti nasihat tersebut, tetapi ia tidak dapat melihat pena itu, karena pandangannya tentang pena adalah tidak lain dari pena yang terbuat dari buluh atau kayu. Lalu sang pengetahuan memperhatikan dirinya sambil berkata: "Di sanalah kesulitannya. Tidakkah kau tahu bahwa perabot rumah tangga sebuah istana. menunjukkan kedudukan pemiliknya? Tiada satu pun di alam semesta ini menyerupai Allah,2) oleh karenanya sifat-sifat-Nya pun transendental. Dia tidak berbentuk dan tidak pula menempati ruangan. Tangan-Nya bukanlah segumpal daging, tulang dan darah. Maka pena-Nya pun tidaklah terbuat dari buluh ataupun kayu. Tulisan-Nya bukan lah dari tinta yang keluar dari benda tajam dan runcing. Namun banyak orang dengan bodohnya tetap berpegang pada pandangan yang menyamakan Dia dengan manusia. Hanya sedikit yang menghargai konsepsi yang secara transendental murni tentang Dia, dan percaya bahwa Dia tidak hanya berada di atas segala batas kebendaan tetapi bahkan berada di atas segala batas perumpamaan. Tampaknya kau masih terombang-ambing di antara dua pandangan, karena di satu pihak kau beranggapan bahwa Allah itu tidak bersifat kebendaan, bahwa kata-kata-Nya tidak bersuara dan tidak berbentuk; di lain pihak kau tak dapat meningkat pada konsepsi transendental tentang tangan, pena dan kertas-Nya. Apakah kau kira makna dari Hadis, 'Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai Citra-Nya' itu terbatas pada wajah manusia yang tampak saja? Tentu tidak; sifat batin yang dapat dilihat dari pandangan batin sajalah sesungguhnya yang dapat disebut citra Allah.3) Namun demikian, dengarkanlah: Engkau kini berada pada gunung yang suci, tempat suara gaib dari hutan yang terbakar berkata: 'Aku adalah Aku;4) sesunqguhnya Aku adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu.5)

Sang fakir, yang sedang mendengarkan dengan terkagumkagum itu, tiba-tiba melihat seolah-olah ada seberkas sinar, kemudian tampaklah pena yang bekerja menuliskan pada hati, tiada berbentuk. "Beribu-ribu terima kasih kuucapkan kepadamu, wahai Pengetahuan, yang telah menyelamatkanku dari kejatuhan ke dalam jurang kemusyrikan. Terima kasih kuucap kan dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku telah menunda-nunda waktu, maka kini kuucapkan selamat tinggal!" Kemudian sang fakir melanjutkan kembali perjalanannya. Berhenti sejenak ketika melihat kehadiran sang pena yang tak tampak itu. Dengan sopan ia bertanya seperti dahulu: "Kau sudah tahu jawabanku," jawab sang pena yang misterius itu. "Kau tentunya tidak dapat melupakan jawaban yang diberikan kepadamu oleh sang pena di alam bumi sana."

"Ya, aku masih ingat," jawab sang fakir, "tetapi bagaimana mungkin jawabannya bisa sama, karena tidak ada kemiripan antara kamu dengan sang pena yang di sana itu."

"Kalau demikian, tampaknya kau telah melupakan hadits: 'Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai citraNya'.

"Tidak, Tuan," sela sang fakir, "Aku telah menghapalkannya." "Dan kau pun telah melupakan ayat suci Al-Quran: 'Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya:6)

"Tentu, tidak," seru sang fakir, "Aku dapat mengulang-ulang seluruh isi Al-Quran di luar kepala."

"Ya, aku tahu, dan karena kini kau sudah memasuki pelataran suci dari alam langit, maka aku pikir aku dapat dengan aman mengatakan bahwa sesungguhnya kau telah mempelajari makna ayat-ayat tersebut dari sudut pandang yang negatif. Namun sebenarnya ayat-ayat tersebut memiliki nilai positif juga, dan harus digunakan sebagai sesuatu yang membangun pada peringkat ini7) Lanjutkanlah terus perjalananmu dan kau akan memahami apa yang kumaksudkan."

Sang fakir memandangi dirinya dan menemukan dirinya itu memantulkan sifat Tuhan Yang Maha Kuasa. Segera ia menyadari adanya kekuatan yang tersimpan di balik pernyataan sang pena yang misterius itu, tetapi dengan dorongan sifat ingin tahunya ia hampir saja mengajukan pertanyaan tentang Yang Maha Suci, ketika suatu suara bagaikan halilintar yang memekakkan telinga terdengar dari atas, berkumandang: "Ia tidak ditanya tentang perbuatannya, tetapi perbuatannya itulah yang akan ditanya." Dengan diliputi keterkejutan, sang fakir menundukkan kepalanya penuh khidmat tanpa sepatah kata pun.

Tangan Allah Yang Maha Pengasih merentang ke arah sang fakir yang tiada berdaya itu; ke dalam telinganya dibisikkanlah nada-nada suara merdu merayu: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan menuju Kami. " (QS 29:64)

Setelah membuka kedua matanya, sang fakir mengangkat kepalanya dan menghadapkan hatinya dengan penuh khusyuk dalam doa: "Mahasuci Engkau, wahai Allah Yang Maha Kuasa: segala puji bagi nama-Mu, wahai Tuhan seru sekalian alam! Mulai saat ini aku tak akan lagi takut pada segala makhluk, kuserahkan seluruh kepercayaanku kepada-Mu, ampunan-Mu adalah pelipur laraku, rahmat-Mu adalah tempatku berlindung."

(Mudah-mudahan, dengan mengingat keesaan Allah, masalah tersebut akan menjadi jelas).

Dikutip dari buku : Rahasia-Rahasia Ajaran Tasawuf Al-Ghazali, Oleh Syed Nawab Ali, penerbit Gema Risalah Press, 110 halaman, pada 12 Maret 1995 harganya Rp1500.-

Catatan:

1) St. Matthew, XIV 53-31: "Dan peda perempat malam ia menghampiri mereka, berjalan di atas laut. Dan ketika murid-muridnya melihat ia berjalan di laut, mereka menjadi gempar dan berkata telah melihat hantu, lalu mereka berteriak ketakutan. Namun sejurus kemudian Yesus berfirman kepada mereka: 'Berbuat baiklah, bergembiralah, inilah Aku, janganlah takut.!"

Kemudian Peter menjawab: Tuhan, kalau benar itu Engkau, izinkanlah aku mendekati-Mu di atas air.' Dan Peter turun dari perahu lalu berjalan di atas air untuk menghampiri Yesus. Namun ketika melihat angin ia merasa takut, lalu ketika mulai tenggelam ia berkata: 'Tuhan, tolonglah aku; Dan dengan serta-merta Yesus mengulurkan tangan-Nya, Ialu mengangkat tubuhnya dan berfirman: 'wahai orang yang kurang beriman, mengapa kau ragu-ragu."

2) Cf. AI-Quran, 42: 11: 'Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

3) Cf. Genesis, I. 27.

4) Exodus, III, 14.

5) Al-Quran 20: 12. Pada umumnya ditafsirkan bahwa Musa dalam ayat ini diperintahkan meninggalkan "kedua terompahnya" untuk menghormati 'tempat suci, Thuwa, Namun Razi dalam ulasannya menyebutnya sebagai sebuah ungkapan dan mengatakan bahwa bahasa Arab menggunakan kata Na'al (sepatu) untuk menyebut istri dan keluarga. Perintah untuk menanggalkan sepasang terompah Musa itu oleh karenanya merupakan sebuah ungkapan metaforis agar ia mengosongkan hatinya dari perhatiannya terhadap keluarga? lihat Tafsir-i-Razi, Jilid V1, 19, edisi Istambul.

6) Al-Quran. 39; 67. Ayat lengkapnya berbunyi: "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya: padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat den langit digulung dengan tangan kanan-nya; Maha Suci Tuhan dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan."

7) Al-Ghazali telah membicarakan masalah ini secara lengkap dalam bukunya yang berjudul Iljam al-Awam, Dikatakannya bahwa setiap benda mengalami empat tahap keberadaan. Ia menggambarkan sebagai berikut; "Api" adalah yang (1) tertutis pada kertas; (2) diucapkan sebagai api; (3) membakar; dan (4) dicerap oleh akal mudah terbakar. Dua tahap yang pertama pada dasarnya bersifat konvensional tetapi mengandung nilai pendidikan. Demikian pula halnya, pemanusiaan ayat-ayat suci Al-Quran hendaknya ditelaah berdasarkan keempat tahap tersebut di atas.

Oleh Syed Nawab Ali

Kerinduan

KERINDUAN


Dan semoga kerinduan ini
Bukan jadi mimpi di atas mimpi
(Ebiet G. Ade)

Fariduddin Attar, guru Jalalluddin Rumi, penyair dan sufi terbesar dari Persia, menuturkan kerinduan sekelompok burung terhadap raja mereka. Maka, mereka pun sepakat menunjuk Hud-hud, burung yang bijak, sebagai pemimpin.

Hud-hud memberi tahu, yang mereka cari itu burung Simurgh, dalam bahasa Persi, artinya tiga puluh burung, yang hidup tersembunyi di gunung Kaf, tempat yang jauh, dan berbahaya. Untuk mencapai tempat itu mereka harus menempuh lima lembah dan dua gurun sahara.

Mendengar cerita itu, mereka yang berjiwa lemah, yaitu Nuri, Merak, Angsa, Bangau, Bul-bul, dan burung Hantu, mengemukakan berbagai alasan untuk tidak ikut.

Si Nuri yang egois, memilih mencari ”cawan suci”, Merak, si burung surga, lebih baik menanti panggilan kembali ke surga, Bul-bul, yang merasa memahami rahasia cinta, menumpahkan cintanya pada bunga mawar, dan Bangau, pencinta air, membual:

”Cintaku pada air membuatku selalu termenung di tepi pantai, namun aku toh tak setitik pun meminum airnya, karena khawatir begitu aku minum, samodra raya itu langsung kering kerontang.”

Hud-hud memberi rangsangan dengan cerita mengenai petualangan menarik dalam perjalanan ke Gunung Kaf, di istana raja mereka.

Karena itu, perjalanan pun dimulai. Tapi baru saja menempuh dua lembah, mereka mengeluh, dan merasa gentar membayangkan perjalanan selanjutnya.

Satu-satunya jalan agar mereka mengerti dan sadar, Hud-hud, harus terus terang bahwa mereka harus menempuh tujuh lembah dan gurun, yang semuanya memikat, simbolik, dan bermakna secara rohaniah. Burung-burung itu pun merasa gembira dan bersemangat lagi.

Kali ini korban berjatuhan. Ada yang mati karena udara sangat panas, ada yang tenggelam di laut, ada yang kelelahan, ada yang kehausan tak berdaya. Dan ada pula yang tersesat.

Sisanya tetap meneruskan perjalanan hingga tiba di Gunung Kaf yang mereka impikan. Di pintu gerbang mereka diperlakukan kasar oleh para penjaga. Tapi mereka sudah terbiasa dengan kesukaran. Maka, pelayan pun menjemput, dan menunjukkan mereka jalan ke ruang Baginda.

Di dalam, burung-burung itu keheranan karena mereka memasuki ruang hampa, luas tak terbatas. Dalam termangu mereka saling memandang. Di mana Baginda raja yang mereka rindukan? Di sana mereka temukan Simurgh, tiga puluh burung, yang ternyata diri mereka sendiri.

Dalam kerinduan mencari sang raja, ternyata mereka hanya menemukan diri mereka sendiri.

”Sang raja tersingkap di dalam cermin kalbu-kalbu mereka sendiri,” kata Attar.

Fariduddin Attar memesona kita. Dengan fabel itu, ia sebenarnya bicara perkara yang sangat dalam dan rumit, mengenai gejolak kalbu, yang diharu-biru rasa rindu. Ini potret kerinduan khas kaum sufi untuk bisa berkhidmat, dan memperoleh momen puitik, dan istimewa: berduaan dengan sang pencipta, untuk mempersembahkan ketulusannya sebagai seorang hamba sahaya.

”Di pintumu aku mengetuk / aku tak bisa berpaling” kata Chairil Anwar.

”Di mana kau / rupa tiada, hanya kata merangkai hati” kata Amir Hamzah.

”Betapa gurun merindukan cinta sejumput rerumputan / Rumput menggeleng, tertawa, dan berlalu” kata Tagore.

”Keberadaan lahir / Ketika kita jatuh cinta pada ketiadaan” kata Rumi.

Ketiadaan di sini bukan kehampaan, bukan ”emptiness”, bukan ”nothingness”. Ketiadaan ini justru wujud eksistensi. Dalam logika dan kosmologi Jawa ini makna ungkapan ”suwung ning isi”, kosong tapi isi yang terkenal itu.

Mencari galih kangkung, dan tapak Kuntul (burung Blekok) melayang, dalam kosmologi Jawa dianggap simbolisasi pencarian akan makna paling hakiki dalam hidup manusia: momen puitik untuk menyatu, manunggal rasa, manunggal karsa dengan ”Baginda”. Mencari tapak Kuntul melayang bukan sebuah kemustahilan.

Para empu dalam bidang ”seni kehidupan”, yaitu para wali, para nabi, dan orang-orang suci, masing-masing pernah disergap kerinduan yang sangat pekat, dan menemukan diri menjadi hati Tuhan, tangan Tuhan, dan sarana Tuhan untuk menciptakan keadilan di bumi. Mereka ibarat hanya bayangan yang tak ada tapi nyata gunanya.

”Lilin dibuat untuk menjadi nyala / Dalam suatu saat penghancuran / Yang tak menyisakan bayangan” kata Rumi.

Kerinduan, bagi yang pernah, dan masih rindu, tak akan sekadar menjadi mimpi di atas mimpi, yang dikhawatirkan Ebiet. Kerinduan terobati, bukan hanya saat kita bisa bertemu, melainkan juga saat kita merasa pasrah untuk ”menjadi”, termasuk sekadar menjadi sebatang lilin kecil, yang nyala kecilnya, menembus gelap di lorong-lorong jiwa kita.


oleh Mohammad Sobary

Hidup Syahid


Seorang pluralis tidak lahir dengan sendirinya. Pluralis, sebagai sifat, maupun watak, terbentuk oleh sebuah proses belajar yang panjang, dan mungkin melelahkan.

Jadi, pluralis itu hasil ciptaan yang belum tentu sudah jadi. Tak ada pluralis yang bersifat become dan mapan. Sifat, atau watak, itu masih terus-menerus dalam penciptaan. Dan mungkin dirawat terus-menerus agar bisa tetap konsisten.

Untuk menjadi pluralis, tak jarang diperlukan pengorbanan. Ia bisa dikucilkan teman-temannya sendiri, atau diejek, dibenci, dan secara kultural tak lagi dianggap sebagai anggota kelompok.

Sang pluralis juga bisa diancam hukuman mati oleh suatu pusat kekuasaan atau oleh orang-orang yang merasa mendapat limpahan kewenangan langsung dari Tuhan biarpun sebenarnya Tuhan tak pernah membisikkan apa pun kepadanya. Di mana-mana orang seperti itu kelihatannya selalu ada dan membuat orang lain takut atau cemas.

Bagi mereka yang berjuang dengan penuh kesadaran, risiko seperti itu sudah mereka perhitungkan dan mereka antisipasi sebagai kemungkinan buruk yang bisa muncul. Mungkin, akhirnya ia tak takut akan ancaman hukuman mati karena ia tahu yang dihadapinya mati syahid, mati di jalan Tuhan. Di banyak kelompok, mati syahid dirindukan. Ini sebuah kematian agung.

Ke-syahid-an itu ”iming-iming” dan janji agama yang pasti. Mati syahid dijamin masuk surga, langsung tanpa ditanya-tanya lagi.

Mereka yang menganggap pihak lain serba salah itu pun memiliki klaim perjuangan membela agama. Dengan sendirinya mereka pun menggenggam ideologi mati syahid tadi. Mereka tak takut mati.

Dua pihak itu berhadapan satu sama lain. Masing-masing membela agama dan Tuhan. Masing-masing tak takut mati. Tetapi, jutaan orang cemas melihat kekerasan itu.

Relasi kekuasaan antar kelompok seperti ini mengerikan. Berjuta-juta manusia mendambakan ketenteraman hidup, tetapi para tokoh malah berbicara tentang mati. Berjuta-juta orang menanti lagu kehidupan, para tokoh malah menyanyikan lagu kematian.

Mereka lupa bahwa ke-syahid-an itu hadiah langit dan bukan sejenis gelar akademis yang bisa dicari. Orang akan mati syahid atau tidak bukan urusan manusia. Ke-syahid-an itu mahkota langit. Dan sepenuhnya merupakan rahasia langit.

Mati di jalan Tuhan, mati syahid, tak bisa direncana dan direkayasa manusia. Tetapi, hidup syahid merupakan kewajiban yang harus kita perjuangkan dengan gigih.

Kebudayaan kita lebih membutuhkan orang yang berani hidup syahid, yang mengasihi sesama, saling menolong, dan saling melindungi. Kemiskinan, dan orang-orang tak berdaya, sangat banyak jumlahnya, dan luar biasa mengenaskannya. Mengurus mereka merupakan panggilan keagamaan yang sangat sentral kedudukannya.

Hidup harus dipertahankan. Kita mainkan peran keduniaan semaksimal mungkin agar kita tampak lebih bermartabat, baru kemudian bicara hak-hak kelangitan.

Hidup yang belum jadi ini harus dibikin agak mendekati titik ”jadi”. Kita yang hari ini gigih sebagai pluralis dan sangat toleran belum tentu bebas dari cobaan.

Sebaliknya, mereka yang antisikap pluralis tak mustahil berubah menjadi pluralis sejati dan sangat toleran kepada pihak lain.

Banyak hal, banyak sifat dan watak, sikap, dan tingkah laku politik di masyarakat kita yang dipengaruhi atau bahkan ”dibentuk” oleh kepentingan politik dan duit. Sering kita hanya bersandiwara dan membohongi publik.

Banyak orang berteriak membela agama, padahal tujuannya mencari kemakmuran duniawi. Ada lembaga yang mewakili kepentingan rohani, tetapi merusak rohani dan kebersamaan yang nyaman dan alami.

Dari hari ke hari kita hanya melihat para tokoh bermain sandiwara yang buruk dan membosankan. Kita sibuk belajar berbohong.

Sejak dulu peradaban yang kita warisi memang seperti ini wajahnya. Sejak dulu mandat kemanusiaan kita pun jelas: kita diminta melukis atau mewarnai wajah buruk peradaban ini menjadi agak lebih cantik.

Maka, jika benar kita toleran, kita harus toleran bukan hanya kepada orang yang toleran, melainkan juga kepada orang yang tak pernah bersikap toleran sekalipun.

Selebihnya, kita tebarkan kebenaran ke mana-mana tanpa mengenal lelah dengan cara yang benar. Dan dengan kesabaran.

Inilah doktrin ke-syahid-an yang mengajarkan kita berani hidup syahid.

oleh Mohammad Sobary

Tasauf

TASAUF ISLAM SOLUSI KEKERINGAN SPIRITUAL

DI ERA MODERNISASI DAN GLOBALISASI

Oleh : Abdul Karim Lubis, SPdI

A. Pendahuluan

Tasauf Islam merupakan bagian integral dari ajaran spiritual Islam yang bersumber dari al-qur’an dan al-Sunnah, lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam itu sendiri. Namun tasauf berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu baru muncul pada abad kedua atau ketiga Hijriyah. Sebelum abad kedua dan ketiga istilah tasauf belum dikenal dikalangan masyarakat muslim akan tetapi bukan berarti ajaran tasauf belum ada pada permulaan Islam, ia sudah ada tapi tidak secara eksplisit sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu. Bahkan bila kita merujuk lebih jauh kebelakang tidak hanya tasauf yang tidak dikenal pada periode awal Islam, disiplin ilmu yang lainpun seperti fiqig, tauhid, tafsir, ilmu hadists belum dikenal pada masa Rasulullah.

Melalui tulisan yang singkat ini penulis ingin menekankan kepada Kaum muslimin dan muslimat bahwa ajaran tasauf bukanlah suatu ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam dengan catatan selama ia merujuk kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, menjelaskan ada tig macam ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, yaitu ilmu fiqih, ilmu tauhid dan ilmu tasauf/ilmu srri. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ajaran tasauf bukanlah milik kelompok tertentu saja, tapi ia harus dimiliki oleh setiap orang terlebih lagi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini minimal ajaran tasauf yang bersifat sederhana seperti sabar, syukur, tawakkal dan sebagainya. Karena tasauf mengajarkan nilai-nilai spiritual yang membawa kepada kesejukan, ketentraman dan kedamaian bagi jiwa manusia.

Tasauf merupakan ajaran keruhaniaan yang menekankan kepada kesuciaan jiwa, hati (qalbu) dengan konsep takhally, tahally dan tajally melalui riyadhah yang dilakukan secara kontinyu, baik melalui dzikrullah, kontemplasi dan amal-amal shaleh lainnya menuju insan kamil (manusia paripurna).

B. Pengertian Tasauf

Pengertian tasauf baik secara etimologi maupun terminolgi, para ahli (ulama tasauf) ternyata berbeda pendapat. Untuk tujuan kejelasan arti kata tasauf diperlukan penelusuran terhadap asal usul penggunaan kata tersebut. Dengan penelusuran itu, diharapkan memberikan gambaran yang jelas akan makna kata tasauf yang sesungguhnya. Secara etimologi (bahasa) pengertian tasauf dapat dilihat menjadi beberapa pengertian, seperti dibawah ini:

  1. Tasauf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah” yang berarti sekolompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambi masjid nabawi, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
  2. Tasauf berasal dari kata shaf (baris); yang dimaksud dengan shaf disini adalah baris pertama shalat di mesjid. Shaf pertama selalu ditempati para Sufi dalam shalat berjamaah.
  3. Tasauf dikatakan berasal dari kata “shafa”, yang artinya kesucian, yakni kesucian jiwa sang Sufi setelah mengadakan “penyucian” jiwa dari kotoran-kotoran atau pengaruh-pengaruh jasmani.
  4. Tasauf berasal dari kata shaufana, yaitu sebangsa buaha-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, di mana pakaian kaum Sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.

Pengertian tasauf secara terminologi (istilah) para ulama juga mendefenisikannya beragam. Menurut Syekh al- Islam Zakaria al-Ansari:

Tasauf mengajarkan cara untuk mensucikan diri, meningkatkan moral dan membangun kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai abadi . Unsur utama tasauf adalah penyucian jiwa, dan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagian dan keselamatan abadi”.

Ketika Muhammad al-Jurayri ditanya tentang tasauf, beliau menjelaskan, “Tasauf berarti menyandang setiap akhlak yang mulia dan meninggalkan setiap akhlak yang tercela”.

Ma’ruf al-Karkhi, tasauf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada ditangan makhluk.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa tasauf adalah suatu ajaran yang selalu berupaya membawa para orang-ornag yang menyelaminya berada dalam kesucian jasmani dan ruhani lahir dan batin, ta’at kepada Allah dan Rasulnya, selalu berusaha menghiasi diri dengan segala sifat-sifat mahmudah (terpuji) dan meningglakn segala sifat-sifat mazmumah (tercela) dalam upaya meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. melalui takhalli, tahalli dan tajally. Manusia pada fitrahnya memiliki dasar kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan biak kepada sesamanya. Sifat dasar kesucian itu disebut hanifiyah kareena manusia adalah makhluk yang hanif. Sebagai makhluk yang hanif manusia memiliki dorongan naluri kearah kebaikan dan kebenaran atau kesucian. Pusat dorongan hanifiyah itu terdapat dalam dirinya yang paling dalam dan paling murni, yang disebut hati (qalbu).

Manusia memiliki potensi dasar untuk selalu ta’at kepada Allah, atau dengan kata lain manusia itu memiliki kecenderungan kepada kebenaran. Konsepsi Islam mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan, atau cenderung kepada kebenaran secara eksplisit diungkapkan dalam al-qur’an “Dan ketika Tuhannmu mengeluarkan keturunan dasri putra-putra Adam, dari sulbi mereka, dan membuat persaksian atas diri mereka snediri; ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, benar, kami bersaksi.” (QS. Al-A’raf: 7/12). Orang-orang yang ber-tasauf (Sufi) hatinya selalu mengeingat Allah dalam segala gerak langkah dan tindakannya, Allah selalu hadir dalam setiap denyut nadi dan detak jantungnya bahkan setiap tarikan nafasnya dalam rangka upaya penyucian jiwa dan mempersiapkan diri untuk mencapai kehidupan yang abadi.

C. Sejarah Singkat Tasauf

Istilah Sufi baru muncul kepermukaan pada abad kedua Hijriyah, sebelum itu Kaum muslimin dalam kurun awal Islam sampai abad pertama Hijriyah belum meneganal istilah tersebut.Namun bentuk amaliah para Sufi itu tentu sudah ada sejak dari awal kelahiran Islam itu di bawa oleh Rasulullah Muhammad saw, bahkan sejak manusia diciptakan.

Sejarah historis ajaran tasauf mengalami perkembangan yang sangan pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw. baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan Rasul, perilaku dan kepribadian Nabi Muhammadlah yang dijadikan tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat konseptual. Tasauf pada masa Raulullah saw. adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali. Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali melembagakan tasauf dengan cara mendirikan madrasah tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani, sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam adalah Hasan Al-Basri (21-110 H) seorang ulama tabi’in, murid pertama dari Huzaifah Al-Yamani beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasauf. Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama memperaktekkan, berbicara menguraikan maksud tasauf sebagai pembuka jalan generasi berikutnya.

Tasauf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, baru muncul pada abad ke II H/XIII M, atau paling tidak dalam bentuk yang lebih jelas pada abad ke III H/X M. Namun, sebagai pengalaman spiritual , tasauf telah ada sejak adanya manusia, Usianya setua manusia. Smua nabi dan Rasul adalah Sufi, yang tidak lain adalah manusia sempurna (insan kamil). Nambi Muhammad adalah Sufi terbesar karena beliau adalah manusia sempurna yang paling sempurna.

D. Sumber Ajaran Tasauf

Menurut para Sufi, bahwa sumber tasauf adalah dari agama Islam itu sendiri, tasauf merupakan saripati dari ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, qwal dan aktifitas sahabat, aktifitas dan qwal tabi’in. Diakui memang banyak pendapat yang mengatakan bahwa ajaran tasauf Islam bukanlah semata-mata lahir dari ajaran Islam tetapi ia lahir merupakan perpaduan atau pengaruh berbagai unsur ajaran agama sebelum agama Islam itu lahir, seperti pengaruh ajaran Hindu, Yahudi, Kristen, Persia, Yunani dan sebagainya. Namun penulis tetap berkeyakinan bahwa tasauf Islam adalah murni bersumber dari semangat dan ruh ajaran Islam itu sendiri serta perilaku Rasul dan sahabat-sahabat beliau, kendatipun terdapat kesamaan antara ajaran tasauf Islam dengan ajaran spiritual agama-agama lain itu hanya secara kebtulan saja. Karena memang semua agama mengajarkan nilai kehidupan spiritual, apakah lagi agama Yahudi, Kristen dan Islam sama-sama bersumber dari yang satu, tentulah ada kesamaan di antaranya tetapi bukan berarti ajaran tasauf Islam merujuk kepada ajaran agama lain selain Islam. Semua agama sealalu berusaha membimbing dan meyadarkan manusia untuk mampu melihat realitas lain yang lebih hakiki, yaitu realitas Ilahi.Dalam Islam, hal-hal yang berhubungan dengan kecerdasan emosi dan spiritual seperti konsistensi (istiqamah); kerendahan hati (tawadhu); berusaha dan berserah diri (tawakkal); ketulusan, totalitas (kaffah); keseimbangan (tawazun); integritas dan penyempurnaan (ihsan) itu dinamakan akhlakul karimah (akhlak yang mulia).

Dasar ajaran tasauf dalam al-Qru’an antara lain:

“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kea rah manapun kamu menghadap di situ akan kamu jumpai wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 2/115)

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah); bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabil mereka berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintha-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepas-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 2/186)

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf : 50/16)

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’du: 13/28)

Dasar ajaran tasauf dari hadits:

أن تعبد الله كأ نك تراه فإ ن لم تكن تراه فإ نه يراك (متفق عليه)

Artinya:

“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka ia pasti melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya niscaya dirinya akan binasa.( al-Hadits)

Dulu Aku (Allah) adalah sebuah permata tersembunyi, namun Allah ingin dikenal, maka allah menciptakan makhluk dan dengannya Akupun dikenal.” (al-Hadits)

Ingatlah, dalam diri manusia terdapat segumpal daging, apabila daging itu baik, maka akan berpengaruh baik pula kepada tubuh secara keseluruhan, akan tetapi apabila ia rusak, maka rusak pula tubuh secara keseluruhan, daging itu adalah hati. (HR. Bukhari)

Hati adalah suatu hal yang selalu dibahas dan dibicarakan dalam ajaran tasauf, dan inilah yang selaul menjadi objek kajian, tema sentral tasauf. Hati harus selalu diasah dan dipertajam untuk menerima panjaran nur Ilahi melalui dzikrullah, dan amal shaleh lainnya, karena bila hati itu kotor ia tidak akan dapat menerima pancara nur Allah swt. Namun apabila hati itu bersih ia bening lakasana kaca niscaya ia dapat menerima pancaran nur Allah dan dapat pula memantulkan cahaya, disaat hati bersih bening laksana kaca terbukalah baginya hijab (tabir) dan muncullah musahadah, mukasyafah, ma’rifat dan tersingkaplah baginya segala rahasia-rahasia alam gaib.

E. Tujuan Ajaran Tasauf

Tasauf sebagai asfek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran akan adanya hubungan komonikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzuqiyah manusia dengan Tuhan.Komonikasi antara manusia dengan Tuhan sebenarnya sudah mulai terjalin ketika seseorang berada di alam rahim dalam kontak perjanjian primordial antara Tuhan dengan jiwa-jiwa manusia sebelum lahir, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, benar, kami mengakui (Engkau Tuhan kami). (QS. Al-A’raf: 7/172). Namun setelah manusia itu lahir ke dunia ini, karena kelalaian manusia akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang hamba disebabkan kesibukan duniawi komonikasi itu terputus dan seyogianya manusia harus berupaya menjalin komonikasi itu kembali untuk menuju hubungan yang harmonis dan intim dengan Allah swt. Pada hakikatnya setiap ruhani senantiasa rindu ingin kembali ketempat asalnya, selalu rindu kepada kekasihnya yang tunggal. Bilamana kelihatannya, dia lupa disebabkan perjuangan hidup duniawi, lupanya itu karena terpendam, sebab rindu itu, ada pada setiap insan individu, hati kecil selalu rindu ingin bertemu sang kekasih yakni Allah swt.

Tujuan akhir mempelajari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah malalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus). Jiwa dan tubuh bersifat saling mempengaruhi. Apabila jiwa sempurna dan suci, maka perbuatan tubuh akan baik. Bergitu pula sebaliknya, dengan dihiasi akhlak yang diridhai oleh Allah. Ibrahim bin Adham (w. 742) mengatakan, Tasauf membawa manusia hidup menurut tata aturan kehidupan yang sebenarnya sesuai dengan konsef al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. seperti hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, syukur, tawadhu, hidup dengan melakukan sesuatu pada tempatnya. Dikalangan para Sufi mendekatkan diri kepada Allah dapat ditempuh dengan berbagai maca cara melewati stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat tertentu seperti zuhud, wara’, taubat, raja’, khauf, sabar dan seterusnya sampai pada puncaknya ke tingkat ma’rifat, bahkan sampai fana, bersatu dan menyatu dengan Tuhan (ittihad) dan itulah kenikmatan tertinggi yang di alami dan dirasakan para Sufi yang tidak dapat dilukiskan dan di gambarkan dengan kata-kata ataupun simbol-simbol.Kendatipun pengalaman spiritual itu dicoba untuk dijelaskan dengan kata-kata atau apapun bentuknya, itu tidak akan sama persis dengan apa yang dialami oleh yang menceritakan (Sufi). Pengalaman spiritual seorang Sufi kalau dianalogikan tak obahnya bagaikan rasa mangga, bagaimanapun seseorang menjelaskan rasa magga kepada orang lain tetapi kalau seseorang tersebut belum pernah mencicipi rasa mangga, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan paham dan mengerti bagaimana rasanya mangga yang sesungguhnya. Dengan kata lain pengalaman spiritual para Sufi itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat diungkapkan. Biasanya beberapa model ungkapan verbal yang dipilih para Sufi dalam menyampaikan pengalaman spiritualnya, yang paling popular adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang bernada puitis, berbentuk humor dan kisah-kisah.Sehingga dengan demikian pesan-pesan, nasehat-nasehat yang mereka tuliskan dapat ditafsirkan para pembaca sesuai dengan kemampuan daya nalar mereka dalam menangkap pesan yang terkandung dibalik teks tersebut.

F. Signifikansi Tasauf di Era Modern

Peradaban moderen yang bermula di Barat sejak abad XVII merupakan awal kemenangan supermasi rasionalisme dan emperisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad moderen Barat cenderung memisahkan ilmu pengetahuan, filsafat dari agama yang kemudian dikenal dengan jargon sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme dan emperisme dalam satu paket epistimologi melahirkan metode ilmiah (scientific method).

Penemuan metode ilmiah yang berwatak emperis dan rasional secara menakjubkan membawa perkembangan sains yang laur biasa canggihnya sehingga melahirkan kemudahan, disamping melahirkan kehidupan dan paradigma pemikiran baru. Fenomena serba mudah dan baru ini merupakan wujud akselarasi dari pemikiran filsafat Barat modern.Filsafat Barat modern memandang manusia bebas dari segala kekuatan di luarnya, dan kebebasan itu terjadi lewat penegtahuan rasional. manusia seolah digiring untuk memikrkan dunia an-sich sehingga Tuhan, surga, neraka dan persolan-persolan eskatologis tidak lagi menjadi pusat pemikiran.

Konsep sains Barat di era moderen yang dikemukan di atas sangat berbeda dengan konsep sains dalam Islam, sebagiamana dinyatakan oleh Sayyid Husein Nasr, bahwa ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam berdasarkan gagsan tentang tauhid, yang menjadi inti dari al-qur’an. Dengan demikian menurut Nsr seluruh ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam dengan berbagai keragamannya tidak terlepas dari keesaan Tuhan, dalam kerangka ini, sains yang dapat disebut Islami adalah sains yang mengungkapkan “ketauhidan alam”.

Peradaban, ilmu pengetahuan, dan sains dalam Islam tidak terlepas dari sentuhan nilai-nilai spiritual, karena ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam harus mampu menghantarkan seseorang untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah melalui pemahaman, pengamatan, riset dan penelitian yang dilakukan terhadap ayat-ayat kauniyah yang tersebar diseluruh penjuru alam, sebab antara ayat qauliyah dan kauniyah selalu berkorelasi. Hal itu akan lebih jelas bila dilihat dari segi keceradsan sufistik. Kecerdasan sufistik dapat dilihat dalam konsep tasauf, seperti ilmu, tafakur, ma’rifat, dan ma’rifat israqiyah. Bahwa yang dimaksud ilmu adalah semua pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Semua pengetahuan itu harus bermanfaat untuk mengenal ciptaan, keagungan dan kebesaran Allah, sehingga kemudian mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Apresiasi yang tinggi pantas diberikan terhadap tasauf karena sumbangan-sumbangannya yang sangat bernilai bagi perkembangan peradaban Islam. Sumbagan itu dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modern.

G. Manfaat Mempelajari Tasauf

Mempelajari tasauf membawa manfaat yang sangat banyak dalam kehidupan ini, baik secara individu, masyarakat, bangsa dan negara. Bila semua orang bertasauf insyaallah bumi ini akan aman dari segala konflik dan permusuhan, karena ajaran tasauf selalu membawa peasan-pesan universal yang bernuansa kesejukan, kedamaian, ketentraman, cinta kasih dengan sesama, bahkan dengan alam, lingkungan dan makhluk-makhluk lainnya. Ajaran tasauf datang menmbus lintas suku, ras, etnis bahkan agama. Para Sufi seperti Ibn ‘Arabi umpamanya, sangat menghargai dan menghormati pluralisme agama. Dengan demikian konsep ajaran tasauf sangat toleran, terbuka dan dapat diterima oleh semua golongan, kelompok dan semua kalangan.

Orang-orang yang mengamalkan ajaran tasauf (para Sufi) hidupnya akan terasa lebih bermakna, indah, dan penuh kesederhanaan dalam menjalani kehidupan ini, segala sesuatunya dijalani dengan ikhlas, syukur, sabar, qana’ah, dan tawakkal atas segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dirinya, tidak mengeluh dan tidak putus asa, tetapi selalu oftimis dalam mengharungi hiudup ini dan segala sesuatunya dikembalikan kepada Allah swt. Para Sufi selalu mampu menangkap pesan-pesan dan hikmah dibalik realitas yang terjadi di alam ini.

Para Sufi sangat menyadari betul akan siapa dirinya dan bagaimana posisinya dihadapan Tuhan dan mereka sudah mampu menguasai hawa nafsu mereka, sehingga dengan demikian segala apa yang mereka lakukan selalu berada dalam koridor kepatuhan, ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh keridhaan, kecintaan dan mereka pun diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah mengundang mereka kesebuah perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 89/27-30). Orang-orang yang diundang oleh Allah tentunya tidak sembarang orang tetapi yang diundang adalah mereka yang sudah sampai ketingkat (maqam) insan kamil (manusia paripurna) yang didalam diri mereka sudah tercermin sifat-sifat Tuhan.

H. Tasauf Solusi Kekeringan Spritual di Era Modernisasi dan Globalisasi

Di zaman modernisasi dan globalisasi sekarang ini, manusia di Barat sudah berhasil mengembangkan kemampuan nalarnya (kecerdesan intelektualnya) untuk mencapai kemajuan yang begitu pesat dari waktu kewaktu di berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang sains dan teknologi yang kemajuannya tidak dapat dibendung lagi akan tetapi kemajuan tersebut jauh dari spirit agama sehingga yang lahir adalah sains dan teknologi sekuler. Manusia saling berpacu meraih kesuksesan dalam bidang material, soial, politik, ekonomi, pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan dan seterusnya, namun tatkala mereka sudah berada dipuncak kesuksesan tersebut lalu jiwa mereka mengalami goncangan-goncangan mereka bingung untuk apa semua ini. Kenapa bisa terjadi demikian, karena jiwa mereka dalam kekosongan dari nilai-nilai spiritual, disebabkan tidak punya oreintasi yang jelas dalam menapaki kehidupan di alam dunia ini. Sayyid Hussein Nasr Menilai bahwa keterasingan (alienasi) yang di alami oleh orang-orang Barat karena peradaban moderen yang mereka bangun brmula dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Akibatnya manusia lupa terhadap eksistensi dirinya sebagai ‘abid (hamba) di hadapan Tuhan karena telah terputus dari akar-akar spiritualitas.Hal ini merupakan fenomena betapa manusia moderen memiliki spiritualitas yang akut. Pada gilirannya, mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup.

Keimanan atau kepercayaan pada agama (Tuhan) itu, secara pragmatis merupakan kebutuhan untuk menenangkan jiwa, terlepas apakah objek kualitas iman itu benar atau salah. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa agama selalu mengajarkan dan menyadarkan akan nasib keterasingan manusia dari Tuhannya. Manusia bagaimanapun juga tidak akan dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya dan agama diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritul.

Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan manusia moderen dari segala asfek spiritual. Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para Sufi. Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekedar entitas-entitas fisik.Sains moderen menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari wacananya. Padahal kosmologi adalah “ilmu sakral” yang menjelaskan kaitan dunia materi dengan wahyu dan doktrin metafisis. Manusia sebenarnya menurut fitrahnya tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan spiritual karena memang diri manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, manusia disamping makhluk fisik juga makhluk non fisik. Dalam diri manusia tuntutan kebutuhan jasmani dan rahani harus dipenuhi secara bersamaan dan seimbang, kebutuhan jasmani dapat terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi sedangkan kebutuhan ruhani harus dipenuhi dengan yang bersifat spiritual seperti ibadah, dzikir, etika dan amal shaleh lainnya. Apabila kedua hal tersbeut tidak dapat dipnuhi secara adil maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan akan mengalami kekeringan dan kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengalami setres.

Salah satu kritik yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dari sudut pandang Islam ialah karena ilmu pengetahuan dan teknologi moderen tersebut hanya absah secara metodologi, tetapi miskin dari segi moral dan etika. Pandangan masyarakat moderen yang bertumpu pada prestasi sains dan teknologi, telah meminggrikan dmensi transendental Ilahiyah. Akibatnya, kehidupan masyarakat moderen menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental, yaitu asfek spiritual.

Agama Islam datang membawa pesan universal dengan ajaran yang komprehensif menawarkan solusi dalam berbagai permasalahan kehidupan umat manusia diantaranya berupaya untuk mempertemukan kehidupan materialsitis Yahudi dan kehidupan spiritual Nasrani, menjadi kehidupan yang harmonis antara keduanya. Di bawah bimbingan Nabi Muhammad Rasulullah saw. Kaum muslimin dapat membentuk pribadinya yang utuh untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dengan melakukan ibadah dan amal shaleh, sehingga mereka memperoleh kejayaan di segala bidang kehidupan.Islam mengajarkan kepada umatnya akan keseimbangan untuk meraih kebahgian dan kesuksesan di dunia dan akhirat secara bersamaan.

PENUTUP

Tasauf Islam suatu ajaran kerahanian (spiritual) yang bersumber dari ruh syari’at Islam itu sendiri yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Para Sufi dalam mengamalkan ajaran tasauf dengan selalu merujuk kepada akhlak, kepribadian dan ketauladanan Rasulullah swa. Sahabat Nabi yang mula-mula melembagakan ajaran tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani dengan mendirikan sebuah madrasah yang khusu mengajarkan ilmu tasauf, kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yakni Hasan Al-Basri dari kalangan tabi’in.

Tujuan akhir dari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri seorang hamba kapada Allah sebagai Khaliknya melalui riyadhah melewati stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat tertentu, dengan selalu mensucikan jiwa (nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan diri menggapai ma’rifatullah sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan Allah menuju kehidpan yang abadi.

Apabila seseorang mengalami kebingunagan, kebimbangan, dan kehampaan dalam mengahrungi bahtera kehidupan ini karena mengahadapi berbagai problem dan permasalah silakan kembali kepada agama sesegera mungkin, insyaallah agama akan memberikan solusi yang terbaik bagi umatnya. Kehampaan spiritual yang di alami orang-orang Barat, karena disebabkan paradigma perdaban yang mereka bangun dari awal telah menyatakan adanya pemisahan antara sains dan agama, padahal seharunya keduanya harus saling bersinergi. Tasauf Isalam tidak menafikan sains, bahkan tasauf Islam banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modren.

Masalah keterasingan adalah masalah kejiwaan. Manusia berperan sebagai penyebab munculnya keterasingan dan sekaligus sebagai korban yang harus menanggung akibatnya. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita keterasingan, justru harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, Tuhan yang mahawujud dan mahaabsolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak berarti dihadapan eksistensi yang mahaabsolut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qusyayri, Risalah Sufi, Bandung: Pustaka Setia, 1990.

Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: Crsd Press, 2005.

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Al-Kalabadzi, Al-Ta’aruf li Mazhabi Ahli al-Tasawwuf, Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhar, 1969.

Ary Ginanjar Agustian, Membangaun Rahasia Sukses Kecerdasan Emosi dan Spiritual, Jakarta: Arga, 2005.

Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Kompas, 2002.

Azyumardi Azra, Histografi Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Ahmad Najib Burhani, “Tarekat” Tanpa Tarekat Jalan Baru Menjadi Sufi, Jakrta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002.

Al-Ghazali, Berbisnis Dengan Allah, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.

Ahmad Musyafiq, Reformasi Tasawuf Al-Syafi’i, Jakarta: Atmaja, 2003.

Barmawi Umari, Sistimatika Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1991.

Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam Spritual Masyarakat Modern, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002.

Dinika Jurnal of Islamic Studies, Volume 6. No. 2, Oktober 2007.

Desain Pengembangan Madrasah, Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Jakarta, 2004.

Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Harapandi Dahri, Meluruskan Pemikiran Tasawuf Upaya Mengembalikan Taswuf Berdasarkna Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Jakarta: Pustaka Irfani, 2007.

Ibn atha’illah, Zikir Penetram Hati, Jakarta: PT. Sumber Ilmu Semesta, 2006.

Jamil, Cakrawala Tasauf Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas, Jakrta: Gaung Persada Press, 2007.

Jurnal Keislaman dan Peradaban, Volume 3, Februari 2006.

Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, Jakarta: Hikmah, 2005.

Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004.

Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa berjumpa Tasawuf, Jakarta: PT. Sumber Ilmu Semesta, 1995.

Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasauf, Jakarta: Erlangga, 2006.

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.

Mir Valiudin, Tasauf dalam Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Moh. Ardani, Akhlak-Tasauf “Nilai-nilai Akhlak /Budipekerti dalam Ibadah & Tasauf, Jakarta: Karya Mulia, 2005.

Mimbar Studi Jurnal Ilmu Agama Islam, No. 3 tahun XXII, Mei-Agustus 1999.

Musa Sueb, Kekuasaan Manusia dan Takdir Tuhan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2004.

Mawlana Abd. Ar-Rahman Jami, Pancaran Ilahi Kaum Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasauf di Indonesia, Bandung: Pustaka Stia, 2001.

M. Solihin, Tasauf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasauf, Bandung: Pustaka Setia, 2003.

Murtadha Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual Sekilas Tentang Ajaran Tasauf dan Tokoh-tokohnya, Bandung: Pustaka Hidayah, 2006.

M. Quraish Sihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, Jakarta: Lentera Hati, 2006.

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003.

Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasauf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.

Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat, Jakarta: Kencana, 2004.

Sa’id Hawwa, Jalan Ruhani Bimbingan Tasawuf untuk Para Aktivis Islam, Bandung: Mizan, 2001.

Taqiuddin Ibnu Taimiyah, Tasawuf dan Krirtik Terhadap Filsafat Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.

Ulumana, Volume Nomor 2 Juli-Desember 2006.

William C. Chittik, Dunia Imajinal Ibn ‘Arabi Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, Surabaya: Risalah Gusti, 2001.

Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-jili, Jakarta: Paramadina, 1997.