Sabtu, 08 November 2014

Responsibility utk Diri

Sebagai Mahluk Tuhan tentu punya tanggung jawab sendiri sejak dilahirkan di muka bumi ini, seperti halnya saya yang punya bermacam-macam tanggungjawab yang melekat pada diri saya, baik itu tanggungjawab sesama mahluk maupun tanggungjawab terhadap sang Khalik, sebagai bentuk tanggungjawab sesama mahluk baik yang diciptakan sendiri maupun yang melekat sebagai bawaan sebagai mahluk, saya selalu berusaha untuk menjalakannya dengan maksimal meski kadang sebagai manusia masih ada kelemahannya, apalagi tanggungjawab saya terhadap sang Khalik.
Rasanya saya ingin kembali ke masa 35 tahun yang lalu dimana hidup ini masih bersih dan tanpa beban, tapi tentu tidak mungkin bisa melawan kodrat sebagai mahluk yang harus tunduk pada aturan hukum sang Khalik, dimana semua mahluk sudah diatur sedemikian rupa tumbuh kembangnya berikut permasalahan yang melekat pada dirinya termasuk nyawa yang telah dititipkanNya.

bersambung..........

Selasa, 29 November 2011

Pilih Mana...........

Pilih Mana.........

Ketika saya melihat kehidupan yang nyata di depan mata, suatu kehidupan manusia yang benar-benar kontradiksi / berlawanan.

disatu sisi kehidupan mereka yang bergelimang harta, punya kuasa, mau apa saja bisa, seakan dunia bisa di beli dengan hartanya (memang bisa), dan ujung2nya berperkara dengan KPK, ahirnya menempati ruang penjara dan... meninggal dunia.

disisi lainnya kehidupan rakyat jelata yang papa dan sengsara mereka hari ini makan dan esok belum tentu ada, jangankan tinggal di rumah yang layak dengan ruang yg suci untuk Sajadah utk tidurpun harus bergeseran dengan sampah rumah tangga, begitulah kehidupannya sampai nyawa berpisah dari raga.

ada satu kesamaan pada kehidupan mereka yaitu sama-sama jauh dari Tuhannya.
yang satu jauh dari Tuhannya karena terlena dan tidak bisa bersyukur oleh harta dan jabatan yg di titipkannya (dia di coba oleh Tuhan dengan HARTA). dan satunya lagi dia jauh dari Tuhannya dengan cobaan kesusahannya.

Aku........, Aku tidak mau seperti itu, Ya Allah Ya Robb......., berilah petunjukMu kepadaku agar aku termasuk orang-orang yang pandai bersyukur atas NikmatMu.

Jadikanlah segala Kelebihan dan Kekuranganku sebagai jalan utk Bersyukur dan beribadah KepadaMu.

Amiiiiiiiiiiiin




.

Harus Memilih Arah

Sekian lama...........

sekian lama saya selalu berusaha sabar untuk mengikuti jalanmu, sekian lama aku harus berkorban untuk kepentinganmu,.... ntah sampai kapan aku harus begini, tak berdaya untuk mengahiri, untuk berkata "STOP" denganmu, kini saatnya aku harus mengikuti rasaku, mengikuti impianku dan mengikuti cita-citaku yang semakin hari semakin kuat untuk di aplikasikan ke keadaan yang nyata....!!!

Tapi........

setelah aku merinci dan mengkalkulasikan ternyata memang belum saatnya aku mewujudkan dengan nyata impianku.

aku masih harus bersabar paling tidak 3 - 5 tahun lagi.

semoga suatu saat nanti dengan segala kesabaranku akan terwujud dengan sempurna semua impianku.

Amiiiiiiiiin

Senin, 22 Juni 2009

Hikayat Sang Pena


Hikayat Sang Pena



Seorang fakir yang sedang dalam perjalanan mencari penerangan melihat secarik kertas dengan coretan-coretan di atasnya.

"Mengapa," tanya sang fakir, "kau menghitami wajahmu yang putih-bersih?"

"Tidak adil kau menuduhku melakukannya," jawab sang kertas. "Bukan aku yang melakukannya." "Tanyakanlah kepada sang tinta mengapa dia keluar dari wadahnya, padahal dia cukup tenang berada di dalamnya, dan mengapa dia menghitami wajahku."

"Kau benar," kata sang fakir. Lalu dia berpaling kepada sang tinta dan bertanya kepadanya.

"Mengapa kau bertanya kepadaku?" jawabnya, "Aku sedang duduk tenang di dalam wadah tinta dan tidak berpikir untuk keluar, tetapi mata pena yang tajam itu menyorengku, lalu mendorongku keluar dan menaburkanku di atas permukaan sang kertas. Di sana kau dapat melihatku terbaring tak berdaya. Pergilah ke sang pena dan tanyakan kepadanya."

Sang fakir berpaling kepada sang pena dan bertanya mengapa dia bersikap sewenang-wenang.

"Mengapa kau menggangguku?" jawab sang pena. "Lihat, siapa aku ini? Tak lebih dari sebatang buluh yang tiada berarti. Aku waktu itu sedang tumbuh di tepian sungai bening keperak-perakan, di tengah-tengah pepohonan hijau nan rindang, ketika, kau tahu, sebuah tangan merentang ke arahku. Sang tangan memegang sebuah pisau. Sang pisau mencabut akar-akarku, menguliti seluruh batang tubuhku, memisah-misahkan seluruh persendianku, menumbangkanku, membelah kepalaku, lalu memenggalnya. Aku segera dikirim ke sang tinta, dan harus mengabdi sebagai pelayan hina-dina. Janganlah kau menambah parah luka-lukaku. Pergilah ke sang tangan dan bertanyalah kepadanya."

Sang fakir memandang sang tangan, lalu bertanya: "Benarkah itu? Apakah kau demikian kejamnya?"

"Jangan marah dulu, Tuan," jawab sang tangan. "Aku hanyalah segumpal daging, tulang, dan darah. Pernahkah Tuan melihat sekerat daging memiliki kekuatan? Dapatkah sebentuk tubuh bergerak dengan sendirinya? Aku hanyalah alat yang digunakan oleh sesuatu yang disebut vitalitas. Dia menunggangiku dan memaksaku berputar-putar. Tuan tahu, orang mati mempunyai tangan tetapi tidak dapat menggunakannya karena vitalitas telah meninggalkannya. Mengapa aku, sebuah alat, mesti dipersalahkan? Pergilah Tuan ke sang vitalitas. Tanyakanlah kepadanya mengapa dia menggunakanku."

"Kau benar," kata sang fakir, kemudian bertanya kepada sang vitalitas.

"Acap kali pengecam sendiri mendapat kecaman, sementara yang dikecam terbukti tak bersalah. Bagaimana kau tahu bahwa aku telah memaksa sang tangan? Aku sudah berada di sana sebelum dia bergerak, dan tidak pernah berpikir untuk menggerakkannya. Aku tidak sadar dan pemirsa pun tidak sadar akan diriku. Tiba-tiba suatu agen datang kepadaku dan menggerakkanku. Aku tak punya cukup kekuatan untuk melanggarnya ataupun kemauan untuk mematuhinya. Mengenai perkara yang membuatmu menegurku, aku melakukannya sesuai dengan keinginannya. Aku tak tahu siapa agen itu. Dia disebut sang kemauan dan aku hanya mengenal namanya. Seandainya hal itu diserahkan kepadaku, kupikir aku tidak akan melakukan apa-apa."

"Baiklah," lanjut sang fakir, "aku akan mengajukan pertanyaan kepada sang kemauan, dan bertanya kepadanya mengapa dia telah mempekerjakan secara paksa sang vitalitas yang menurut keinginannya sendiri tidak akan melakukan sesuatu."

"Jangan dulu terlalu terburu-buru," pekik sang kemauan. "Sedapat mungkin aku akan mengajukan alasan yang cukup memadai. Yang Mulia Pangeran, sang pikiran, mengutus seorang duta besarnya yang bernama pengetahuan, yang menyampaikan pesannya kepadaku melalui nalar, berbunyi: 'Bangkitlah, gerakkanlah vitalitas.' Aku terpaksa melakukannya, karena aku harus patuh kepada sang pengetahuan dan sang nalar, tetapi aku tak tahu apa alasannya. Selama tidak menerima perintah aku bahagia, tetapi begitu ada perintah aku tak berani melanggarnya. Apakah sang raja seorang penguasa yang adil ataukah zalim, aku harus patuh kepadanya. Aku telah bersumpah, selama sang raja ragu-ragu atau masih merenungkan suatu masalah, maka aku hanya diam saja, siap melayani; pegitu perintah sang raja disampaikan kepadaku, maka rasa patuh yang memang sudah menjadi pembawaanku akan segera memaksaku untuk menggerakkan sang vitalitas. Maka janganlah Tuan mengecamku. Sebaiknya pergilah Tuan menghadap sang pengetahuan dan mendapatkan keterangan di sana."

"Anda benar," setuju sang fakir, lalu dia meneruskan perjalanan, menghadap kepada sang pikiran dan para duta besarnya, yaitu pengetahuan dan nalar, untuk meminta penjelasan.

Sang nalar memohon maaf dengan mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebuah lampu, dan dia tidak mengetahui siapa yang menyalakannya. Sang pikiran mengaku tidak bersalah dengan mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebuah tabula rasa. Sedangkan sang pengetahuan bersikeras menyebut dirinya hanyalah sebuah prasasti, yang baru bisa digoreskan setelah lampu sang nalar menyala. Maka dia tidak dapat dianggap sebagai penulis prasasti tersebut, yang kemungkinan merupakan hasil goresan sebuah pena tertentu yang tidak terlihat.

Sang fakir kemudian menjadi bingung, tetapi setelah berhasil menguasai diri lagi, dia berkata kepada sang pengetahuan: "Aku sedang melakukan perjalanan mencari penerangan.

Kepada siapa pun aku menghadap dan menanyakan alasan, aku selalu disuruh menghadap yang lainnya. Meskipun demikian, aku merasa senang dalam pengejaranku ini, karena semuanya memberikan alasan yang masuk akal. Tetapi, Tuan Pengetahuan, maafkanlah aku kalau kukatakan bahwa jawaban Tuan tidak memuaskanku. Tuan mengatakan bahwa Tuan hanyalah sebuah prasasti yang digoreskan oleh sang pena. Aku telah berjumpa dengan sang pena, sang tinta, dan sang kertas. Mereka masing masing terbuat dari buluh, campuran warna hitam, dan kayu serta besi. Dan aku pun telah melihat lampu-lampu yang dinyalakan oleh sang api. Tetapi di sini aku tidak melihat satu pun dari mereka itu, walaupun Tuan berbicara tentang kertas, lampu, pena, dan prasasti. Tentunya Tuan tidak sedang bermain-main denganku, bukan?"

"Tentu, tidak," timpal sang pengetahuan. "Aku berbicara dengan sebenar-benarnya. Tetapi aku dapat memahami kesulitanmu. Bekal yang kau bawa hanya sedikit, kuda yang kau tunggangi sudah letih, dan perjalanan yang kau tempuh cukup jauh dan berbahaya. Hentikanlah perjalananmu ini, karena aku khawatir kau tidak akan dapat berhasil. Tetapi, bagaimanapun, jika kau sudah "siap menanggung risiko, maka dengarkanlah.

Perjalananmu mencakup tiga wilayah. Pertama, alam dunia. Benda-benda di dalamnya adalah pena, tinta, kertas, tangan dan sebagainya, seperti yang telah kau lihat tadi. Yang kedua adalah alam langit, yang akan mulai kau masuki bila kau telah meninggalkanku. Di sana aku akan menjumpai puncak-puncak awan yang padat, sungai-sungai yang luas dan dalam, dan gunung-gunung yang menjulang tinggi tak terdaki, yang aku tak tahu bagaimana kau akan mampu mendakinya. Di antara kedua alam ini terdapat alam ketiga sebagai wilayah perantara, yang disebut alam gejala. Kau telah melampaui tiga lapis di antaranya, yaitu vitalitas, kemauan, dan pengetahuan. Dengan tamsil dapat dikatakan: orang yang sedang berjalan, ia masih berada di alam dunia: jika ia sedang berlayar pada sebuah kapal maka ia mulai memasuki alam gejala: jika ia meninggalkan kapal tersebut lalu berenang dan berjalan di atas air, maka ia telah dianggap berada di alam langit. Jika kau belum tahu bagaimana caranya berenang, maka kembalilah. Sebab daerah perairan dari alam langit itu bermula dari saat kau muiai dapat melihat pena yang menulis pada lembaran hati. Jika kau bukan orang yang diseru: Wahai iman yang kecil, mengapa kau ragu-ragu?1) maka bersiap-siaplah. Sebab dengan iman kau tidak hanya akan berjalan di atas lautan tetapi kau akan terbang di angkasa."

Sang fakir kelana kemudian terdiam sejenak, lalu memandang sang pengetahuan dan mulai berkata: "Aku sedang mengalami kesulitan. Bahaya-bahaya yang menghadang pada jalan yang telah Tuan gambarkan itu membuat hatiku kecut, dan aku tak tahu apakah aku cukup kuat menghadapinya dan berhasil pada akhirnya."

"Ada ujian untuk mengetahui kekuatanmu," kata sang pengetahuan. "Bukalah matamu dan pusatkan pandanganmu padaku. Jika kau dapat melihat pena yang menulis pada sang hati, kukira kau akan mampu melangkah lebih jauh lagi. Sebab orang yang mampu menyeberangi alam gejala, lalu ia mengetuk pintu alam langit, maka ia akan dapat melihat pena yang menulis pada hati."

Sang fakir mengikuti nasihat tersebut, tetapi ia tidak dapat melihat pena itu, karena pandangannya tentang pena adalah tidak lain dari pena yang terbuat dari buluh atau kayu. Lalu sang pengetahuan memperhatikan dirinya sambil berkata: "Di sanalah kesulitannya. Tidakkah kau tahu bahwa perabot rumah tangga sebuah istana. menunjukkan kedudukan pemiliknya? Tiada satu pun di alam semesta ini menyerupai Allah,2) oleh karenanya sifat-sifat-Nya pun transendental. Dia tidak berbentuk dan tidak pula menempati ruangan. Tangan-Nya bukanlah segumpal daging, tulang dan darah. Maka pena-Nya pun tidaklah terbuat dari buluh ataupun kayu. Tulisan-Nya bukan lah dari tinta yang keluar dari benda tajam dan runcing. Namun banyak orang dengan bodohnya tetap berpegang pada pandangan yang menyamakan Dia dengan manusia. Hanya sedikit yang menghargai konsepsi yang secara transendental murni tentang Dia, dan percaya bahwa Dia tidak hanya berada di atas segala batas kebendaan tetapi bahkan berada di atas segala batas perumpamaan. Tampaknya kau masih terombang-ambing di antara dua pandangan, karena di satu pihak kau beranggapan bahwa Allah itu tidak bersifat kebendaan, bahwa kata-kata-Nya tidak bersuara dan tidak berbentuk; di lain pihak kau tak dapat meningkat pada konsepsi transendental tentang tangan, pena dan kertas-Nya. Apakah kau kira makna dari Hadis, 'Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai Citra-Nya' itu terbatas pada wajah manusia yang tampak saja? Tentu tidak; sifat batin yang dapat dilihat dari pandangan batin sajalah sesungguhnya yang dapat disebut citra Allah.3) Namun demikian, dengarkanlah: Engkau kini berada pada gunung yang suci, tempat suara gaib dari hutan yang terbakar berkata: 'Aku adalah Aku;4) sesunqguhnya Aku adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu.5)

Sang fakir, yang sedang mendengarkan dengan terkagumkagum itu, tiba-tiba melihat seolah-olah ada seberkas sinar, kemudian tampaklah pena yang bekerja menuliskan pada hati, tiada berbentuk. "Beribu-ribu terima kasih kuucapkan kepadamu, wahai Pengetahuan, yang telah menyelamatkanku dari kejatuhan ke dalam jurang kemusyrikan. Terima kasih kuucap kan dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku telah menunda-nunda waktu, maka kini kuucapkan selamat tinggal!" Kemudian sang fakir melanjutkan kembali perjalanannya. Berhenti sejenak ketika melihat kehadiran sang pena yang tak tampak itu. Dengan sopan ia bertanya seperti dahulu: "Kau sudah tahu jawabanku," jawab sang pena yang misterius itu. "Kau tentunya tidak dapat melupakan jawaban yang diberikan kepadamu oleh sang pena di alam bumi sana."

"Ya, aku masih ingat," jawab sang fakir, "tetapi bagaimana mungkin jawabannya bisa sama, karena tidak ada kemiripan antara kamu dengan sang pena yang di sana itu."

"Kalau demikian, tampaknya kau telah melupakan hadits: 'Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai citraNya'.

"Tidak, Tuan," sela sang fakir, "Aku telah menghapalkannya." "Dan kau pun telah melupakan ayat suci Al-Quran: 'Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya:6)

"Tentu, tidak," seru sang fakir, "Aku dapat mengulang-ulang seluruh isi Al-Quran di luar kepala."

"Ya, aku tahu, dan karena kini kau sudah memasuki pelataran suci dari alam langit, maka aku pikir aku dapat dengan aman mengatakan bahwa sesungguhnya kau telah mempelajari makna ayat-ayat tersebut dari sudut pandang yang negatif. Namun sebenarnya ayat-ayat tersebut memiliki nilai positif juga, dan harus digunakan sebagai sesuatu yang membangun pada peringkat ini7) Lanjutkanlah terus perjalananmu dan kau akan memahami apa yang kumaksudkan."

Sang fakir memandangi dirinya dan menemukan dirinya itu memantulkan sifat Tuhan Yang Maha Kuasa. Segera ia menyadari adanya kekuatan yang tersimpan di balik pernyataan sang pena yang misterius itu, tetapi dengan dorongan sifat ingin tahunya ia hampir saja mengajukan pertanyaan tentang Yang Maha Suci, ketika suatu suara bagaikan halilintar yang memekakkan telinga terdengar dari atas, berkumandang: "Ia tidak ditanya tentang perbuatannya, tetapi perbuatannya itulah yang akan ditanya." Dengan diliputi keterkejutan, sang fakir menundukkan kepalanya penuh khidmat tanpa sepatah kata pun.

Tangan Allah Yang Maha Pengasih merentang ke arah sang fakir yang tiada berdaya itu; ke dalam telinganya dibisikkanlah nada-nada suara merdu merayu: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan menuju Kami. " (QS 29:64)

Setelah membuka kedua matanya, sang fakir mengangkat kepalanya dan menghadapkan hatinya dengan penuh khusyuk dalam doa: "Mahasuci Engkau, wahai Allah Yang Maha Kuasa: segala puji bagi nama-Mu, wahai Tuhan seru sekalian alam! Mulai saat ini aku tak akan lagi takut pada segala makhluk, kuserahkan seluruh kepercayaanku kepada-Mu, ampunan-Mu adalah pelipur laraku, rahmat-Mu adalah tempatku berlindung."

(Mudah-mudahan, dengan mengingat keesaan Allah, masalah tersebut akan menjadi jelas).

Dikutip dari buku : Rahasia-Rahasia Ajaran Tasawuf Al-Ghazali, Oleh Syed Nawab Ali, penerbit Gema Risalah Press, 110 halaman, pada 12 Maret 1995 harganya Rp1500.-

Catatan:

1) St. Matthew, XIV 53-31: "Dan peda perempat malam ia menghampiri mereka, berjalan di atas laut. Dan ketika murid-muridnya melihat ia berjalan di laut, mereka menjadi gempar dan berkata telah melihat hantu, lalu mereka berteriak ketakutan. Namun sejurus kemudian Yesus berfirman kepada mereka: 'Berbuat baiklah, bergembiralah, inilah Aku, janganlah takut.!"

Kemudian Peter menjawab: Tuhan, kalau benar itu Engkau, izinkanlah aku mendekati-Mu di atas air.' Dan Peter turun dari perahu lalu berjalan di atas air untuk menghampiri Yesus. Namun ketika melihat angin ia merasa takut, lalu ketika mulai tenggelam ia berkata: 'Tuhan, tolonglah aku; Dan dengan serta-merta Yesus mengulurkan tangan-Nya, Ialu mengangkat tubuhnya dan berfirman: 'wahai orang yang kurang beriman, mengapa kau ragu-ragu."

2) Cf. AI-Quran, 42: 11: 'Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

3) Cf. Genesis, I. 27.

4) Exodus, III, 14.

5) Al-Quran 20: 12. Pada umumnya ditafsirkan bahwa Musa dalam ayat ini diperintahkan meninggalkan "kedua terompahnya" untuk menghormati 'tempat suci, Thuwa, Namun Razi dalam ulasannya menyebutnya sebagai sebuah ungkapan dan mengatakan bahwa bahasa Arab menggunakan kata Na'al (sepatu) untuk menyebut istri dan keluarga. Perintah untuk menanggalkan sepasang terompah Musa itu oleh karenanya merupakan sebuah ungkapan metaforis agar ia mengosongkan hatinya dari perhatiannya terhadap keluarga? lihat Tafsir-i-Razi, Jilid V1, 19, edisi Istambul.

6) Al-Quran. 39; 67. Ayat lengkapnya berbunyi: "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya: padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat den langit digulung dengan tangan kanan-nya; Maha Suci Tuhan dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan."

7) Al-Ghazali telah membicarakan masalah ini secara lengkap dalam bukunya yang berjudul Iljam al-Awam, Dikatakannya bahwa setiap benda mengalami empat tahap keberadaan. Ia menggambarkan sebagai berikut; "Api" adalah yang (1) tertutis pada kertas; (2) diucapkan sebagai api; (3) membakar; dan (4) dicerap oleh akal mudah terbakar. Dua tahap yang pertama pada dasarnya bersifat konvensional tetapi mengandung nilai pendidikan. Demikian pula halnya, pemanusiaan ayat-ayat suci Al-Quran hendaknya ditelaah berdasarkan keempat tahap tersebut di atas.

Oleh Syed Nawab Ali

Kerinduan

KERINDUAN


Dan semoga kerinduan ini
Bukan jadi mimpi di atas mimpi
(Ebiet G. Ade)

Fariduddin Attar, guru Jalalluddin Rumi, penyair dan sufi terbesar dari Persia, menuturkan kerinduan sekelompok burung terhadap raja mereka. Maka, mereka pun sepakat menunjuk Hud-hud, burung yang bijak, sebagai pemimpin.

Hud-hud memberi tahu, yang mereka cari itu burung Simurgh, dalam bahasa Persi, artinya tiga puluh burung, yang hidup tersembunyi di gunung Kaf, tempat yang jauh, dan berbahaya. Untuk mencapai tempat itu mereka harus menempuh lima lembah dan dua gurun sahara.

Mendengar cerita itu, mereka yang berjiwa lemah, yaitu Nuri, Merak, Angsa, Bangau, Bul-bul, dan burung Hantu, mengemukakan berbagai alasan untuk tidak ikut.

Si Nuri yang egois, memilih mencari ”cawan suci”, Merak, si burung surga, lebih baik menanti panggilan kembali ke surga, Bul-bul, yang merasa memahami rahasia cinta, menumpahkan cintanya pada bunga mawar, dan Bangau, pencinta air, membual:

”Cintaku pada air membuatku selalu termenung di tepi pantai, namun aku toh tak setitik pun meminum airnya, karena khawatir begitu aku minum, samodra raya itu langsung kering kerontang.”

Hud-hud memberi rangsangan dengan cerita mengenai petualangan menarik dalam perjalanan ke Gunung Kaf, di istana raja mereka.

Karena itu, perjalanan pun dimulai. Tapi baru saja menempuh dua lembah, mereka mengeluh, dan merasa gentar membayangkan perjalanan selanjutnya.

Satu-satunya jalan agar mereka mengerti dan sadar, Hud-hud, harus terus terang bahwa mereka harus menempuh tujuh lembah dan gurun, yang semuanya memikat, simbolik, dan bermakna secara rohaniah. Burung-burung itu pun merasa gembira dan bersemangat lagi.

Kali ini korban berjatuhan. Ada yang mati karena udara sangat panas, ada yang tenggelam di laut, ada yang kelelahan, ada yang kehausan tak berdaya. Dan ada pula yang tersesat.

Sisanya tetap meneruskan perjalanan hingga tiba di Gunung Kaf yang mereka impikan. Di pintu gerbang mereka diperlakukan kasar oleh para penjaga. Tapi mereka sudah terbiasa dengan kesukaran. Maka, pelayan pun menjemput, dan menunjukkan mereka jalan ke ruang Baginda.

Di dalam, burung-burung itu keheranan karena mereka memasuki ruang hampa, luas tak terbatas. Dalam termangu mereka saling memandang. Di mana Baginda raja yang mereka rindukan? Di sana mereka temukan Simurgh, tiga puluh burung, yang ternyata diri mereka sendiri.

Dalam kerinduan mencari sang raja, ternyata mereka hanya menemukan diri mereka sendiri.

”Sang raja tersingkap di dalam cermin kalbu-kalbu mereka sendiri,” kata Attar.

Fariduddin Attar memesona kita. Dengan fabel itu, ia sebenarnya bicara perkara yang sangat dalam dan rumit, mengenai gejolak kalbu, yang diharu-biru rasa rindu. Ini potret kerinduan khas kaum sufi untuk bisa berkhidmat, dan memperoleh momen puitik, dan istimewa: berduaan dengan sang pencipta, untuk mempersembahkan ketulusannya sebagai seorang hamba sahaya.

”Di pintumu aku mengetuk / aku tak bisa berpaling” kata Chairil Anwar.

”Di mana kau / rupa tiada, hanya kata merangkai hati” kata Amir Hamzah.

”Betapa gurun merindukan cinta sejumput rerumputan / Rumput menggeleng, tertawa, dan berlalu” kata Tagore.

”Keberadaan lahir / Ketika kita jatuh cinta pada ketiadaan” kata Rumi.

Ketiadaan di sini bukan kehampaan, bukan ”emptiness”, bukan ”nothingness”. Ketiadaan ini justru wujud eksistensi. Dalam logika dan kosmologi Jawa ini makna ungkapan ”suwung ning isi”, kosong tapi isi yang terkenal itu.

Mencari galih kangkung, dan tapak Kuntul (burung Blekok) melayang, dalam kosmologi Jawa dianggap simbolisasi pencarian akan makna paling hakiki dalam hidup manusia: momen puitik untuk menyatu, manunggal rasa, manunggal karsa dengan ”Baginda”. Mencari tapak Kuntul melayang bukan sebuah kemustahilan.

Para empu dalam bidang ”seni kehidupan”, yaitu para wali, para nabi, dan orang-orang suci, masing-masing pernah disergap kerinduan yang sangat pekat, dan menemukan diri menjadi hati Tuhan, tangan Tuhan, dan sarana Tuhan untuk menciptakan keadilan di bumi. Mereka ibarat hanya bayangan yang tak ada tapi nyata gunanya.

”Lilin dibuat untuk menjadi nyala / Dalam suatu saat penghancuran / Yang tak menyisakan bayangan” kata Rumi.

Kerinduan, bagi yang pernah, dan masih rindu, tak akan sekadar menjadi mimpi di atas mimpi, yang dikhawatirkan Ebiet. Kerinduan terobati, bukan hanya saat kita bisa bertemu, melainkan juga saat kita merasa pasrah untuk ”menjadi”, termasuk sekadar menjadi sebatang lilin kecil, yang nyala kecilnya, menembus gelap di lorong-lorong jiwa kita.


oleh Mohammad Sobary

Hidup Syahid


Seorang pluralis tidak lahir dengan sendirinya. Pluralis, sebagai sifat, maupun watak, terbentuk oleh sebuah proses belajar yang panjang, dan mungkin melelahkan.

Jadi, pluralis itu hasil ciptaan yang belum tentu sudah jadi. Tak ada pluralis yang bersifat become dan mapan. Sifat, atau watak, itu masih terus-menerus dalam penciptaan. Dan mungkin dirawat terus-menerus agar bisa tetap konsisten.

Untuk menjadi pluralis, tak jarang diperlukan pengorbanan. Ia bisa dikucilkan teman-temannya sendiri, atau diejek, dibenci, dan secara kultural tak lagi dianggap sebagai anggota kelompok.

Sang pluralis juga bisa diancam hukuman mati oleh suatu pusat kekuasaan atau oleh orang-orang yang merasa mendapat limpahan kewenangan langsung dari Tuhan biarpun sebenarnya Tuhan tak pernah membisikkan apa pun kepadanya. Di mana-mana orang seperti itu kelihatannya selalu ada dan membuat orang lain takut atau cemas.

Bagi mereka yang berjuang dengan penuh kesadaran, risiko seperti itu sudah mereka perhitungkan dan mereka antisipasi sebagai kemungkinan buruk yang bisa muncul. Mungkin, akhirnya ia tak takut akan ancaman hukuman mati karena ia tahu yang dihadapinya mati syahid, mati di jalan Tuhan. Di banyak kelompok, mati syahid dirindukan. Ini sebuah kematian agung.

Ke-syahid-an itu ”iming-iming” dan janji agama yang pasti. Mati syahid dijamin masuk surga, langsung tanpa ditanya-tanya lagi.

Mereka yang menganggap pihak lain serba salah itu pun memiliki klaim perjuangan membela agama. Dengan sendirinya mereka pun menggenggam ideologi mati syahid tadi. Mereka tak takut mati.

Dua pihak itu berhadapan satu sama lain. Masing-masing membela agama dan Tuhan. Masing-masing tak takut mati. Tetapi, jutaan orang cemas melihat kekerasan itu.

Relasi kekuasaan antar kelompok seperti ini mengerikan. Berjuta-juta manusia mendambakan ketenteraman hidup, tetapi para tokoh malah berbicara tentang mati. Berjuta-juta orang menanti lagu kehidupan, para tokoh malah menyanyikan lagu kematian.

Mereka lupa bahwa ke-syahid-an itu hadiah langit dan bukan sejenis gelar akademis yang bisa dicari. Orang akan mati syahid atau tidak bukan urusan manusia. Ke-syahid-an itu mahkota langit. Dan sepenuhnya merupakan rahasia langit.

Mati di jalan Tuhan, mati syahid, tak bisa direncana dan direkayasa manusia. Tetapi, hidup syahid merupakan kewajiban yang harus kita perjuangkan dengan gigih.

Kebudayaan kita lebih membutuhkan orang yang berani hidup syahid, yang mengasihi sesama, saling menolong, dan saling melindungi. Kemiskinan, dan orang-orang tak berdaya, sangat banyak jumlahnya, dan luar biasa mengenaskannya. Mengurus mereka merupakan panggilan keagamaan yang sangat sentral kedudukannya.

Hidup harus dipertahankan. Kita mainkan peran keduniaan semaksimal mungkin agar kita tampak lebih bermartabat, baru kemudian bicara hak-hak kelangitan.

Hidup yang belum jadi ini harus dibikin agak mendekati titik ”jadi”. Kita yang hari ini gigih sebagai pluralis dan sangat toleran belum tentu bebas dari cobaan.

Sebaliknya, mereka yang antisikap pluralis tak mustahil berubah menjadi pluralis sejati dan sangat toleran kepada pihak lain.

Banyak hal, banyak sifat dan watak, sikap, dan tingkah laku politik di masyarakat kita yang dipengaruhi atau bahkan ”dibentuk” oleh kepentingan politik dan duit. Sering kita hanya bersandiwara dan membohongi publik.

Banyak orang berteriak membela agama, padahal tujuannya mencari kemakmuran duniawi. Ada lembaga yang mewakili kepentingan rohani, tetapi merusak rohani dan kebersamaan yang nyaman dan alami.

Dari hari ke hari kita hanya melihat para tokoh bermain sandiwara yang buruk dan membosankan. Kita sibuk belajar berbohong.

Sejak dulu peradaban yang kita warisi memang seperti ini wajahnya. Sejak dulu mandat kemanusiaan kita pun jelas: kita diminta melukis atau mewarnai wajah buruk peradaban ini menjadi agak lebih cantik.

Maka, jika benar kita toleran, kita harus toleran bukan hanya kepada orang yang toleran, melainkan juga kepada orang yang tak pernah bersikap toleran sekalipun.

Selebihnya, kita tebarkan kebenaran ke mana-mana tanpa mengenal lelah dengan cara yang benar. Dan dengan kesabaran.

Inilah doktrin ke-syahid-an yang mengajarkan kita berani hidup syahid.

oleh Mohammad Sobary